Disebut bertauhid manakala kita bisa mempercayai janji Allah sebab meyakini bahwa janji Allah adalah benar. Inilah bahagian tauhid, bahagian dari mempercayai dan meyakini Allah. Begini, teori dasarnya, siapa yang meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan mengganti dengan yang lebih banyak; 2x, 10, 700x hingga lipatan pengembalian yang tidak terhingga. Keyakinan terhadap janji ini adalah juga bahagian dari tauhid. Semakin kita mempercayai Janji Allah, lalu bekerja dan menunaikan keyakinan ini, maka akan semakin hebat pengaruhnya pada diri kita. Esai berikutnya sungguhpun terlihat seperti pembahasan tentang sedekah, sesungguhnya ini adalah pembahasan tentang tauhid; tentang keyakinan akan Keesaan, Kebenaran, dan Kekuasaan Allah. Ada seseorang yang tidak yakin dengan dirinya, tapi dia yakin sama Allah, lalu menjajal. Ini saya sebut separuh keyakinan. Tapi ini saja, bisa sangat-sangat berhasil. Bahkan yang tidak punya keyakinan pun akan berhasil! Hanya saja, kepada mereka yang beramal tanpa keyakinan dan ilmu, akan beda rasanya. Buku terbaru saya: The Miracle, udah terbit. Dan buku ini banyak berbicara tentang hal ini (tauhid). (Tunggu saja ya BelanjaOnline di web ini aktif. Supaya peserta bisa mendapatkan buku ini hanya dengan mengklik ujung mouse dan keyboard saja. Pesan secara online via web kesayangan Anda ini, tahu-tahu buku itu udah di rumah, Web Admin). Seorang ibu di Jember mengikuti tausiyah saya tentang janji Allah. Yang membuat dia tidak yakin, bagaimana bisa dirinya yang tidak ada siapa-siapa di rumahnya, dan dia tidak bekerja, lalu bisa mendapatkan rizki lebih? Tapi dia memilih percaya saja kepada Allah. “Allah punya sejuta cara jika sudah menghendaki sesuatuâ€, begitu katanya meyakinkan dirinya sendiri. Dan keyakinannya ini mengantarkannya pada rizki. Dia bersedekah di acara, Rp. 5rb. Dia pulang dengan jalan kaki sebab ongkosnya dipakai bersedekah. Sesampainya di rumah, dia punya rumah dihampiri pengendara sedan yang sudah kebelet kepengen pipis. Selesai pipis, dia diberi Rp.50rb, atau 10x lipat dari yang disedekahkannya. Peserta KuliahOnline yang dirahmati Allah, ini bukan hanya pengajaran sedekah. Sekali lagi ini pengajaran tauhid. keyakinannya terhadap Allah sudah menggerakkannya bersedekah. Sungguhpun uang itu adalah untuk ongkos, ia kalahkan. Dan keajaibanpun terjadi. |
*** |
Pernah ada kisah seorang tukang ikan datang meminta amalan agar bisa punya modal lebih. Ketika ditanya buat apa modal lebih, dijawab supaya ada untung lebih. “Memangnya pasti tuh kalo modal ditambah, untung pasti bertambah?â€. Dia ragu menjawabnya. Ya saya tahu, banyak yang memiliki kesadaran bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali aturan Allah. Tapi dia menjawab, “Secara hitungan sih, ya nambah untungnya Pak Ustadz. Tapi ya ga tau dah. Namanya juga nasibâ€. |
*** |
1 tahun yang lalu, ada seorang ibu mau daftar Umrah Ramadhan. |
*** |
Nah, terkait dengan persoalan umrah Juli tahun 2009 (saat esai ini ditulis masih 2008, Web Admin) , kita pake cara ini. Cara yakin kepada Allah dan bersedekah. |
*** |
Peserta KuliahOnline, rasanya tidak salah jika kemudian saya menyeru kepada seluruh wali santri agar memakai betul ilmu yang didapat ini. Bahkan saya menyeru kepada jamaah peserta kuliah, agar juga menerapkan ini. Hitung berapa anggota keluarga Anda semua, dan kalikan dengan biaya umrah. Kemudian kalikan 10% dari total biaya itu. Insya Allah kita ketemu dah di Tanah Suci. |
*** |
21 October, 2009
Fadhilah Iman Kepada Allah Keutamaan Keyakinan Terhadap Allah
Menunda Dunia Untuk Allah
Bagi saya, persoalan shalat adalah persoalan tauhid. Sebab tauhid kan sederhananya: Mengenal Allah. Lalu bagaimana kualitas shalat kita, sebagaimana itulah kita bertauhid kepadanya. Memang ada urusan lain di urusan shalat, tapi semua bermula dari sini... Dari shalat... |
Shalat Cermin Tauhid Persoalan Shalat, Persoalan Tauhid |
Ada hadiah dari Allah buat siapa saja yang mementingkan diri-Nya Si A, membawa surat interview. Dia ini orang yang terbiasa tepat waktu. Ia gelisah. Sebab di surat interview itu, ia dipanggil jam 11.00. Jam yang rawan bagi dia. Rawan apaan? Rawan untuk tidak bisa mempersiapkan diri shalat tepat waktu. Subhaanallaah! Padahal jam 11 kan masih jauh? Masih 1 jam menuju waktu shalat. Iya. Itu kalo dia prediksi wawancara bisa berlangsung tepat waktu. Bagaimana kalau pewawancara telat. Atau ia datang di urutan wawancara nomor ke sekian? Atau wawancara akan masih berlangsung sedang waktu shalat sudah menjelang. Lihat ya, baru "sudah menjelang", bukan sudah datang. Pikiran ini betul-betul mengganggu si A ini. Tapi karena dia butuh pekerjaan, kemudian dia tetap memutuskan untuk datang. Jam 11 kurang dia sudah sampai. Dia catatkan namanya untuk interview. Ternyata hanya dia seorang. Aman nih. Tapi apa yang terjadi? Ternyata si penginterview dipanggil oleh direksi. Sampe jam 11.30-an ga kunjung ada kejelasan apakah wawancara bisa dilaksanakan atau tidak, atau di jam berapa wawancara bisa dilaksanakan. Di mata si A ini, pertanyaan itu jelas ia jawab, atau bahasa lainnya, jawabannya jelas: Batal. Betul: Batal. Dia memilih tidak wawancara bila wawancara itu dilakukan di jam 12 lalu mengganggu jadual shalatnya. Masya Allah. "Mbak, saya izin dulu ya. Nanti saya balik lagi. Saya titip tas di sini," katanya kepada resepsionis. "Bawa aja tas nya. Emangnya mau kemana? Bapak sebentar lagi barangkali datang." "Mau shalat dulu." "Oh… Silahkan… Nanti saya beritahu Bapak." Alhamdulillah, pikir si A. Kirain akan dimarahin. Ini malah dipersilahkan dan akan dibantu untuk memberitahukan ke pewawancara. Alhamdulillah. |
*** |
Sesampenya si A di ruang mushalla, belum ada orang. Sebab baru jam 12.50. saat itu, zuhur jam 12.08. Kira-kira jam 12-an lewat, tapi belum datang saatnya azan, datang seorang bapak. Bersih wajahnya. Berseri. Bapak ini sudah datang dalam keadaan berwudhu. Ditemani oleh dua orang lagi di sebelahnya. Juga dalam keadaan sudah berwudhu nampaknya. Sebab si A tidak melihat ada tanda-tanda bekas air wudhu baru. "Mas, bukan pegawai sini ya?" tanya salah satu dari yang tiga orang tersebut. "Iya Pak" "Eh, kemana yang azan? Koq belum azan nih?" cetus lagi yang satu, sambil melihat jam. "Saya saja Pak yang azan," kata si A. Dalam keadaan rapih baju dan celananya, dan dalam keadaan wangi, si A, azan. Ada rasa kebanggaan di hatinya, bahwa dia bisa mengalahkan interview untuk dapat azan dan shalat zuhur berjamaah. Berdirilah yang tiga orang tersebut, sambil menunggu azan selesai. Seolah-olah mereka mendampingi si A ber-azan. Selepas azan, si A tidak sempat lagi bicara-bicara dengan tiga orang tersebut. Sebab mushalla sudah keburu ramai. Hanya, selepas shalat ba’diyah, pundaknya ditepuk oleh salah satu dari yang tiga. "Mas yang akan diwawancara oleh saya ya?" Kagetlah si A. Rupanya ia bersama-sama sang pewawancara. Satu shaf. "Yang ngimamin shalat itu, Dirut kita," katanya datar. "Kita tunggu beliau selesai shalat sunnah." Singkat cerita, malah si A itu diajak makan siang bersama. Dua dari yang tiga, adalah direksi. Sedang yang mewawancara pun nampaknya memiliki jabatan yang cukup tinggi di kantor tersebut. Sungguh beruntung si A. Ia jaga shalatnya, malah Allah dudukkan dia dalam posisi yang sangat mulia. Bagaimana lalu dengan awawancaranya? Ya sudah tidak perlu diwawancara kali. Pertemuan di mushalla, dan azannya si A, sudah menyelesaikan wawancara. Alhamdulillah, subhaanallaah. Para Peserta Kuliah Online yang budiman, kalau kita hidup dalam aturan Allah, maka Allah akan mengaturkan hal-hal yang terbaik buat kita. Allah Maha Mengendalikan dunia ini, dan DIA Maha Mengetahui apa yang akan terjadi. Pintu rizki pun di tangan-Nya. Bukan di tangan siapa-siapa. |
*** |
Memberi Jam yang Terbaik |
Allah begitu baik sama kita. Sedangkan kita? Judul di atas bukan bermaksud memberi hadiah jam tangan. Bukan. Maksudnya, memberikan waktu terbaik kita buat Allah. Tidak mudah loh menerapkan hal ini. Makanya, mintalah bantuan, bimbingan, dan pertolongan Allah, agar bisa memberikan kepada Allah, waktu terbaik untuk-Nya. Jadilah orang yang berbahagia, di mana ketika orang sedang sibuk-sibuknya, kita bisa memotong menghadiahkan waktu yang berharga yang kita miliki, buat Allah. Bukankah sejatinya semua punya Allah? Berikut ini kira-kira waktu terbaik kita:
Jam macet. Jam pulang. Banyak manusia yang terjebak di kemacetan, karena berburu pulang cepat. Akhirnya tetap saja kemaleman karena memang macet. Kalau memang macet-macet juga, kenapa tidak kita tunggu saja sampe maghrib usai. Atau syukur-syukur kita sekalian selesaikan isya, baru kita pulang. Kalau tetap khawatir, misalkan pulang jam 5, maka jam 18 mampir ke masjid. Jalan lagi usai maghrib. Lalu, mampir lagi jelang isya. Dan jalan lagi setelah shalat isya. Repot memang. Tapi insya Allah yang begini ini yang kelak akan Allah istimewakan. Manusia mau lelah, mau cape. Tapi kali ini cape dan lelahnya, buat Allah. Bukan seperti selama ini yang untuk dunianya, untuk perutnya, untuk keseombongannya, untuk hawa nafsunya. Subhaanallaah. |
*** |
Habis, Kita Digaji Beliau Sih... |
Kita tidak pernah tahu dengan sungguh-sungguh darimana rizki kita berasal. Barangkali, karena itulah kita jarang mengistimewakan Allah. "Pak Helmy, ke ruang saya ya…", perintah bos besar, datar. Tanpa ada nada suruh cepat-cepat, dan tidak ada juga perintah untuk bersegera. Perintahnya bener-bener datar. Bos besar ngangkat telpon, dan menekan shortcut number yang tersambung ke ruangan Pak Helmy, dan lalu bicara begitu: "Pak Helmy, ke ruang saya ya…". Itupun dilakukan si bos besar ini tanpa menunggu jawaban dari Pak Helmy, apakah bisa atau tidak. Dan bos besar pun tidak tahu juga barangkali siapa yang ngangkat telpon di ruangan Pak Helmy tersebut. Apakah benar Pak Helmy, atau bukan? Dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita jadi Pak Helmy, maka kita wajibkan diri kita untuk menyegerakan diri ke ruangan bos besar. Kita lalu merapihkan diri, dan bahkan seperti sudah menebak apa kemauan bos besar, kita ke ruangannya membawa data-data yang barangkali diperlukan, supaya bos besar senang. Kalau kita jadi Pak Helmy, umpama ternyata sekretaris ruangan Pak Helmy yang mengangkat telpon itu, lalu kemudian si sekretaris ruangan itu lupa menyampaikan bahwa bos besar memanggil, maka marahlah Pak Helmy, dan bersegeralah dia meminta maaf kepada bos besar seraya menyampaikan bahwa dia salah. Kalau kita ditegor orang, "Duuuh, segitunya kalo dipanggil bos…". Maka kita akan menjawab, "Ya wajarlah. Sebab dia kan bos nya saya. Dia yang menggaji saya. Saya bekerja di perusahaan ini sebab kebaikan dia". Luar biasa. Begitu hebatnya "tauhid" kita kepada bos besar tersebut. Lalu, bagaimana dengan panggilan Allah? Bagaimana keadaan hati kita? Bagaimana keadaan diri kita? Bagaimana penampilan kita? Bagaimana sikap kita? Silahkan jawab sendiri. Masing-masing. Dengan jawaban yang paling jujur dari sikap dan perilaku kita selama ini. Semoga Allah menyayangi kita semua. |
*** |
Ani SBY |
Adalah wajar menghormati dan menghargai seorang manusia, karena kedudukannya, karena kemuliaannya, karena kekayaannya. Tapi menjadi tidak wajar, bila kemudian Pemilik Kesejatian Kedudukan, Kemuliaan, Kekayaan, tidak kita hormati tidak kita hargai. Ini bukan tulisan esai yang pro partai demokrat. Ini juga bukan cerita tentang seseorang yang membela SBY. Ini hanya cerita seorang anak bangsa yang bangga sama ibu negaranya, istri presidennya yang berkuasa saat ini (SBY adalah presiden Indonesia saat tulisan ini dibuat, Web Admin). Itu saja. Ok, saya memprologkan hal ini, sebab saya memang senang dengan Bu Ani SBY. Istri dari SBY. Senang. Sederhana. Kelihatan tidak neko-neko. Tidak kedengeran bisnis yang macam-macam. Nampaknya sosok ibu dan istri yang baik. Dan ini bukan tulisan yang menyatakan ketidaksenangan dengan beliau. Justru lantaran senangnya. Tulisan ini menjadi ada, karena Allah menjadikan ini sebagai pelajaran buat saya. Pada satu saat, ada pameran buku-buku di Dunia Islam yang pembukaannya saya diundang utuk hadir. Dan katanya, dihadiri oleh Bu Ani SBY sebagai istri Presiden yang bakal membuka pameran secara resmi. "Pengawalannya ketat Pak!" kata salah satu panitia. Yang lainnya menimpali, "Iya, seluruh penyewa ruangan pameran, ga boleh lagi masukin barang sejak jam 11 malam tadi". "Betul-betul diawasi", kata yang satunya lagi. Saya mendengar dialog ini. Saya yang udah mau nerobos masuk, jadi ga enak. Bukan sombong, insya Allah wajah saya diberi keleluasan untuk masuk, he he he. Ada pengecualian. Coba saja saya dilarang masuk, ya saya pulang. Kalo saya pulang, maka jadual baca doa, jadi berantakan, he he he. Tapi saya tahan langkah saya ini. Biarlah sistem yang bekerja. Toh kalau panitia butuh, dia akan nyari saya. Namun, pelajaran tauhid, bergetar di hati saya. Saya bergumam di dalam hati, subhaanallaah. Untuk kedatangan pembesar negeri ini, dan ini baru istrinya, manusia sudah dibuat repot, he he he. Kenapa ya kalo yang datang Allah, kita tidak repot? Nah! Coba aja lihat, barang-barang boleh masuk ke ruang pameran, jam 11 semalam sebelumnya. Dan di pagi hari, engga boleh lagi ada yang keluar masuk 2 jam sebelumnya. Sebab apa? Ya sebab tadi. Bu Presiden bakalan masuk ruangan. Clear Area. Bagaimana dengan Allah? Bagaimana dengan kedatangan-Nya di waktu shalat? Allah, hanya minta waktu sama kita untuk tepat waktu. Kita tidak disuruh bersiap-siap yang berlebihan hingga kemudian kita malah melupakan dunia kita. Kita hanya disuruh pada saatnya menghadap, tinggalkanlah perniagaan, tinggalkanlah jual beli. Itu kalau mau beruntung. Tapi lihat? Manusia lebih menghargai manusia yang lebih terhormat. Tidak mau melihat Yang Maha Terhormat. Manusia lebih bisa menghargai manusia lain yang lebih kaya. Tidak menghargai Yang Maha Kaya, Yang Teramat Kaya. Manusia, lebih menghargai terhadap mereka yang punya kekuasaan dan pengaruh lebih. Tapi terhadap Allah, Yang Maha Kuasa dan Teramat Kuasa, ya begitu dah bentuk penghargaan dan penghormatan kita. Kita tau sendiri bagaimana bentuknya. Maka diri ini berpesan kepada diri ini sendiri, seyogyanya berkenalanlah dengan Allah. Lewat hati. Supaya bisa mementingkan Allah, menghargai Allah, menghormati Allah, lebih dari siapapun di dunia ini. |
*** |
Gelisah |
Bilakah kegelisahan menghilang dari kalbu kita manakalah kita mengabaikan waktu shalat? Bila datang sebentar lagi waktu shalat, dan kita tahu siapa yang bakal turun ke langit dunia (yaitu Allah), sedang kita masih di jalan tol misalnya… bersyukurlah bila kemudian dikarunia hati yang gelisah. Gelisah apa? Gelisah tidak bisa shalat tepat waktu. Di mana kita ketika waktu shalat tiba? Pertanyaan ini kita tanyakan kepada diri kita. Kalo kita menjawab, alhamdulillah kami sudah di dalam masjid # alhamdulillah kami sudah dalam keadaan berwudhu dan di atas sajadah # alhamdulillah kami sudah berjalan menuju masjid # maka bersyukurlah. Jangan sampe kemudian kita merasa "aman-aman" saja. Bahkan tidak gelisah sama sekali ketika jam shalat sudah mau habis. Ya, banyak manusia yang gelisah dengan pendapatannya hari itu. Banyak manusia yang gelisah dengan proyek-proyeknya hari itu. Banyak manusia yang resah dengan masalahnya yang belum juga selesai hingga di hari itu. Banyak orang tua yang gelisah dengan keadaan anaknya yang sudah makan atau belum kalau anaknya pulang terlambat, dan gelisah kalau tidak ada tanda-tanda anaknya bakal datang. Tapi siapa yang mampu gelisah sebab khawatir shalat tidak tepat waktu? Sebuah keutamaan adanya bila kemudian kita datang ke tempat shalat, menyiapkan diri untuk shalat, tapi waktunya azan belum lagi datang. Artinya, kitalah yang datang duluan. Adem rasanya. Kalau kita tiada gelisah dengan kondisi buruknya shalat kita, maka Allah akan berikan kegelisahan itu di hati kita, sampai kita tidak tahu jawabannya apaan. Kan banyak tuh orang-orang yang gelisah tapi ga tahu kenapa dia bisa gelisah? Maka coba aja jajal koreksi dari sisi ini. |
*** |
Bicara Tauhid, Bicara Keyakinan |
Bahagia bener saya pagi ini. Hampir jam 01 saya bangun dari tidur yang terasa sudah terlalu lama. Ugh, padahal saya lihat jam, saya trnyata baru tidur jam 11 malam tadi. |
*** |
Sebenarnya banyak lagi kebahagiaan saya yang rasanya kalau saya tulis terus, saya tidak akan bisa istirahat sampe shubuh, he he he. Nanti saya pecah-pecah deh tulisan ini terus, hingga saya juga kepengen bercerita tentang perjalanan religi ke Baitullah, bersama rombongan besar para santri dan keluarganya, sekeluarga, ibadah umrah bareng, mengisi liburan Juli 2009, tahun depan. |
*** |
Jawab Panggilan |
Apakah kita termasuk yang dipanggil-Nya? Apakah kita tahu bahwa kita termasuk yang dipanggil-Nya? Apakah kita termasuk yang memenuhi panggilan-Nya? coba marilah kita jawab bersama, dengan jawaban yang jujur. Ketika diabsen sama guru, satu demi satu anak menjawab: Hadir pak! |
*** |
Budek Ya... |
Bila kita punya anak, maka kita sungguh akan senang bila kita memanggil anak kita dan anak kita menjawab panggilan kita. Dan sebaliknya, kita akan sebal manakala kita tahu anak kita mendengar panggilan kita, namun ia tidak menjawab panggilan kita. Sebagai orang tua, hal yang biasa bila kita memanggil anak kita. Dan sebagai orang tua, adakalanya kita memanggil anak, lalu anak segera bergegas menuju kita, dan adakalanya dia lebih peduli dengan kegiatannya. Pada saat anak kita menjawab panggilan kita, kita senang. Dan bila anak kita tidak menjawab panggilan kita, kita kemudian menjadi tidak senang. Ada juga anak yang menjawab tapi seperti tidak menjawab. Misalkan anak kita sedang main gitar di depan rumah, atau sedang menggambar. Kita panggil, dia nyahut. Tapi kita tunggu beberapa lama, dia yang sudah nyahut, tapi tidak kunjung datang. Sebab sibuk dengan gitar atau asyik dengan menggambarnya. Kita panggil lagi. Lalu dia tidak nyahut lagi. Akhirnya kita samperin. Begitu kita samperin, barulah kemudian anak kita berdiri dan meninggalkan kegiatannya. Begitulah kita terhadap Allah. Ada juga bahkan anak yang tidak sedikit kesal karena dipanggil sama kita orang tuanya. Panggilan kita dianggap mengganggu mainnya, mengganggu aktifitasnya. Masya Allah, kita pun kadang suka begini. Lihat saja, sebagian kita malah berkata begini: “Ya Allah, udah ashar lagi aja…”. Terhadap anak yang tidak mendengar panggilan kita, kita lalu berkata begini ke anak kita: “Budek ya….”. Jika demikian, apa kira-kira perkataan Allah kepada kita, ketika dipanggil oleh-Nya lalu kita tidak bergegas memenuhi seruan-Nya? |
*** |
Tidak Bergegas... |
Jika kita memanggil anak kita, kita akan bertambah senang bila anak kita bukan sekedar menjawab panggilan kita, tapi bergegas memenuhi panggilan kita. Kelakuan manusia sekitar kita, adalah kelakuan kita. Tidak jarang kita dimudahkan Allah untuk berkaca tentang kelakuan kita dari melihat kelakuan orang lain. Khusus perihal shalat, kita sering melihat, langkah kita adalah seperti bukan langkah yang mengenal Allah. Sudah mah tidak bergegas, kelakuan kita pun ampuuuunnn dah. Tidak mencerminkan sedang ditunggu Allah. Seakan-akan benar-benar kita tidak tahu siapa yang sedang menunggu kita. Astaghfirullah. Saya menulis ini pun sesungguhnya adalah juga termasuk yang disebut ini. Lihat saja kelakuan kita. Di pinggir masjid, di teras, kita masih “tega” merokok dulu, menghabiskan batang rokok yang masih tanggung kita hisap belum habis. Ada lagi orang yang jalan menuju Allah sambil ngobrol cekikikan, dan jalan dengan teramat slow. Ada lagi yang sudah komat, masih terima sms dan mengirim sms ke sana kemari. Ada yang kemudian sampe mengganggu jamaah yang laen sebab lupa dimatiin suara HP nya. Ada lagi yang kemudian tidak merapihkan pergelangan lengan bajunya. Ada yang mengendorkan dasinya. Ada yang mengeluarkan bajunya padahal sudah rapih sebelum masuk masjid. Dia jadi celaka, sebab dia buang air kecil sebelum wudhu. Itulah sebab ia tidak merapihkan lagi pakaiannya. Coba, kalau sudah siap sebelum azan. Misalkan sepuluh menit sebelumnya, dua puluh sebelumnya, kan kejadian-kejadian seperti tadi tidak akan ada. Ada yang berkata, saya ga begitu dah ustadz. Kalo ga begitu, bagus. Tapi kalo iya, mbok ya mikir. Ketika kita menghadap pimpinan, coba-coba dah sambil smsan, kalo ga ditegur kita ini? Kalau sedang rapat sama pimpinan proyek, sama klien, kita bisa konsentrasi dengan hebat, dan mendengarkan dengan seksama. Ini, ketika makmum, nguap, nguap aja. Tanda kantuk yang tidak ditahan. Subhaanallaah! |
*** |
Romantisme ber-Tauhid...
Supir Saya |
Kita tidak mengenal Allah. Itu yang menyebabkan kita tidak menyambut kedatangan-Nya. tidak di shalat fardhu, dan lebih tidak lagi di shalat tahajjud. Beruntunglah orang-orang yang tahu bahwa Allah itu selalu datang. Datang dengan segala karunia-Nya, datang dengan segala pertolongan-Nya. Untuk kemudahan berkendaraan, Allah karuniakan saya supir. Saya tidak menganggap supir saya ini lebih rendah dari saya. Malah saya seringkali membesarkan hatinya, bahwa kemana saya ceramah, maka dia dapet juga pahala kebaikannya. Asal dia mau membaca basmallah dan berdoa agar amalan ceramah saya, pun ia dapatkan. Namun, ketika saya tidak mendapati supir saya tepat waktu, tidak kurang saya pun suka terbersit rasa kesal. "Bagaimana sih? Udah tahu mau jalan, koq malah ga ada?" begitu saya berpikir. Di satu waktu, saya memberitahu supir saya, agar dia standby langsung di depan lobi satu tempat, sebab sudah akan jalan lagi ke tempat yang lain. Dan saya sudah wanti-wanti dengan sangat. Yang demikian itu, agar tidak jadi hambatan bagi perjalanan saya. Tapi rupanya dia tidak mengindahkan. Begitu saya keluar, dia tidak ada. Begitu saya telpon, katanya sedang ngantar saudara saya ke depan jalan utama, mencari taksi. Saya marah, namun, bersabar rasanya lebih baik. Karena saya tidak bisa menunggu lebih lama, saya bilang sama dia, saya naik taksi saja juga dah. Dan dia saya suruh pulang. Ada suara bersalah di ujung seberang HP sana. Namun saya tidak mau berlama-lama lagi. Saya tutup telponnya dan saya segera mencari taxi. Sebelum taxi yang saya pesan, sampe, supir saya sudah datang dan meminta maaf. Sekarang saya sadar, bahwa selama ini saya sering mengecewakan Allah, Tuhan saya yang sudah demikian baik kepada saya, kepada keluarga saya, kepada semua manusia. Dan sekarang saya membiarkan Allah menunggu saya... Saya tidak dapat membayangkan, andai yang mengucapkan kalimat: "Tunggu ya Pak!", adalah supir saya. Ya, ketika saya perlu dia, dia lalu mengatakan itu. Lebih konyol lagi kalo dia bilang, Pak, kalo ga sabar, silahkan saja naik taxi ya. Saya makan dulu... (???!!!). Wuih, saya tidak dapat membayangkan, apa yang saya akan lakukan terhadap supir saya itu. Lebih lagi saya tidak mampu membayangkan jika saya lah yang menjadi supir buat majikan saya. Saya harus selalu standby buat majikan saya. Lalu kenapa kita tidak pernah siap siaga untuk Allah, Tuhan kita? Disebut siap siaga bila kita selalu stel panca indera kita. Kita, menjadi weker, atau alarm, untuk diri kita sendiri. Selalu waspada setiap waktu shalat datang. Syukur-syukur bila kita mau menjaga wudhu kita. Jadi, ga perlu mengantri ketika saat shalat datang. Makin cepat kita datang kepada Allah, rasanya hidup kita akan didahulukan ketimbang orang-orang yang selalu telat datangnya. Makin kita bergegas menuju Allah, menyambut Allah, doa-doa kita pun akan semakin cepat dikabul, masalah-masalah kalau datang cepat selesainya, hajat kalau ada bisa Allah segerakan pencapaiannya. Tapi apa boleh buat. Selama ini kita menyadari bahwa sama yang namanya shalat, kita jarang mementingkannya. |
Pesantren Online |
Allah, Yang Maha Perkasa, selalu mendatangi kita. Disambut tidak disambut, dilayani tidak dilayani, dengan Kasih Sayang-Nya, DIA selalu hadir di kehidupan kita. Lantaran tidak mengenal-Nya, kita lalu menjadi manusia-manusia yang kehilangan momen berharga bertemu dengan Pemilik Dunia ini. Subhaanallaah. Masih seputar supir saya, alangkah manisnya bila kemudian ketika saya keluar dari satu tempat, dia sudah standby dengan mobil yang AC nya sudah dingin menyebar ke seluruh kabin mobil. Lebih lega lagi saya kalau kemudian mobil itu bersih luar dalem dan wangi. Tambah bangga saya, kalau kemudian ia turun dari mobilnya, lalu dengan sopannya membukakan pintu mobil untuk saya. Saya seperti raja, he he he. Tapi ya, sehari-hari saya tidak demikian. Ini kan cerita "alangkah manisnya". Bukan yang sebenarnya. Tapi logika ini mau dipakai untuk menunjukkan kesiapan kita dan kesopanan kita terhadap Allah. Ternyata, jauh sekali dari yang semestinya. Mestinya, jangan Allah yang menunggu kita. Tapi kita yang menyambut kedatangan Allah. Kita sudah siap siaga sebelum datangnya waktu shalat. Kita sudah siap siaga sebelum muadzdzin mengumandangkan azannya. Bagi yang mengingat masa-masa pergi haji atau umrahnya, koq bisa ya kalo di tanah suci kita melangkahkan kaki kita ke masjid, jauh sebelum azan? Bahkan ada yang tidak beranjak dari masjidil haram atau masjidin nabawi, memilih untuk menunggu datangnya waktu shalat yang lain. Coba diprogram hidup kita, dengan menyetel ulang jadwal ibadah kita. Mari kita sambut Allah. Jangan biarkan lagi kita yang ditunggu Allah. Syukur-syukur kita mau menyambut Allah dengan pakaian yang lebih bagus ketimbang kita menemui manusia. Kalaupun tidak, siapkan wewangian khusus untuk menyambut Allah yang kita pakai hanya ketika menghadap-Nya. Kita kemudian tegakkan shalat-shalat sunnah. Kita datang sebelum waktu azan... Duh, indahnya... Saya kadang suka iseng membayangkan, Allah turun dengan Malaikat-Malaikat Pengiring-Nya. Allah memasuki masjid dengan Anggun-Nya, penuh Wibawa, penuh Pesona. Lalu saya menoleh ketika Allah datang, lantaran saya sudah di dalam masjid duluan. Lalu Allah tersenyum kepada saya dan saya katakan, saya sudah di sini ya Allah. Saya sudah di sini. Begitulah. Asli. Candaan iseng, bayangan iseng ini, senang sekali saya bayangkan. Sehingga hati ini senang betul mengambil air wudhu untuk tajdiidul wudhu (memperbaharui wudhu). Saya ingin Pencipta saya senang bahwa saya betul-betul mengabdi pada-Nya. Saya belum mampu mengabdi banyak, ya dengan cara beginilah dulu. Tampil di muka ketika shalat. Subhaanallaah. Begitu pun ketika masa shalat tahajjud. Ketika saya terbangun, saya bayangkan bahwa Allah yang membangunkan saya. DIA berada di samping saya, dan membangunkan saya dengan penuh Kelembutan dan Kasih Sayang-Nya. Masya Allah. Bertentangan tentu memvisualkan hal-hal seperti ini. Tapi inilah saya. Romantisme bertauhid dengan Allah menjadi sangat nyata buat saya. Ketika saya pedengerkan keluhan saya, saya bercerita kepada yang melebihi sahabat dekat saya. Saya perdengarkan keluhan-keluhan saya tentang kejadian-kejadian hidup yang saya lewati, detail, pelan-pelan. Pakai bahasa sehari-hari dengan tetap memperhatikan kesantunan, adab, kesopanan layaknya saya bicara dengan Tuhan Pemilik Alam ini. Tapi ya itu, visualisasi bahwa saya sedang bercengkrama dengan-Nya, saya usahakan betul, agar Allah hadir di hati saya. Dalam suasana sentimentil, misalnya sedang marah, sedang kecewa, sedang sangat senang, atau sedang sangat sedih, biasanya manusia sanggup bercengkerama dengan Allah. Rahasianya barangkali karena hatinya dihadirkan untuk berdioalog dengan Allah. Semoga kita bisa senantiasa menyambut Allah dan bermesra-mesraan dengan-Nya. Kendalikan perasaan dengan memprogramnya. Sehingga kapanpun, romantisme bertauhid bisa senantiasa kita rasakan. Kepada-Nya lah semua urusan dikembalikan. Kita berdoa terus agar Allah berkenan memperkenalkan diri-Nya kepada kita dan kita bisa mengenal-Nya. Amin. |
*** |
Dapat apa dari Dunia?...
Kita sering habis-habisan berbuat untuk sesuatu yang justru akan kita tinggal. Sedang untuk sesuatu yang bakal abadi, sering kita tidak sungguh-sungguh. |
Daarul Qur’an Method |
Dunia harus dikejar. Karena di sini kita hidup. Namun akhirat juga harus diperhatikan. Sebab di sanalah tempat kita kembali. Inilah doa dan ajaran keseimbangan hidup yang diajarkan Rasulullah. |
*** |
Karyawan |
Masih seputar dapet apa dari dunia? Jika kita memburu hanya dunia, maka sungguh, kita tidak akan dapat apa2. Makanya Allah dan Rasul-Nya mengajarkan, jangan hanya mengejar dunia. Kejar juga akhirat, dengan memperhatikan amal saleh yang menjadi bekal menghadap Allah. Banyak-banyak berbuat kebaikan. Dan utamanya, perbaiki cara kita beribadah. Jangan sampai mencintai Allah hanya di mulut saja. Sesungguhnya kita tidak mencintai Allah melainkan mencintai dunia. |
*** |
Memberi Perintah Kepada Allah |
Tidak ada pekerjaan terpenting dalam kehidupan kita |
*** |
Perintah "Tunggu" |
Tidak ada yang lebih penting di dunia ini yang harus kita kerjakan kecuali shalat. Shalatlah pekerjaan utama kita, sedang yang lainnya adalah pekerjaan sambilan. Apa yang terjadi dengan diri Anda ketika Anda mendengar Azan? Apakah langsung bergegas memenuhi panggilan azan tersebut, lalu melaksanakan shalat? Atau biasa-biasa saja? Kalau Anda tidak segera bergegas menyambut seruan itu, maka ketahuilah kita termasuk yang berkategori memberi perintah kepada Allah. Yaitu perintah "tunggu" tersebut. Perintah "tunggu" kepada Allah ini berarti: # Tunggu ya, saya sedang melayani pelanggan. # Tunggu ya, saya sedang nyetir. # Tunggu ya, saya sedang menerima tamu. # Tunggu ya, saya sedang nemani klien. # Tunggu ya, saya sedang rapat. # Tunggu ya, saya sedang dagang nih. # Tunggu ya, saya sedang belanja. # Tunggu ya saya sedang belajar. # Tunggu ya saya sedang ngajar. # Tunggu ya saya sedang merokok. # Tunggu ya, saya sedang di tol. # Tunggu ya, saya sedang dalam terburu-buru. # Tunggu ya saya sedang tidur. # Tunggu ya, saya sedang bekerja. Dan seterusnya. Coba aja berkaca kepada diri sendiri, dan kebiasaan ketika menghadapi waktu shalat. Perintah tunggu inilah yang kita berikan kepada Allah. Adzan berkumandang... Allahu akbar, Allahu akbar... Bukannya kita bergegas menyambut seruan itu, malah Allah kita suruh menunggu... |
*** |
Siapa sih kita? |
Sesiapa yang tidak mengusahakan shalat di awal waktu, sungguh dia adalah orang yang tidak mengenal Allah. Rizki-Nya lah yang selalu kita cari. Pertolongan-Nya lah yang sedang kita butuhkan. Dan Allah datang di setiap waktu shalat membawa apa yang kita butuhkan, memberi apa yang kita inginkan, di luar kebaikan-Nya yang bersifat sunnatullah. Kita ini, manusia, makhluk ciptaan Allah. Diciptakan dari saripati tanah. Kita ada, lantaran ada hubungan yang diizinkan Allah dari hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian terjadilah kita. Ya, dari sperma, kita menjadi manusia. Makanya Allah menyindir di surah Yaasiin ayat ke-77, bagaimana mungkin manusia yang diciptakan dari saripati tanah lalu tiba-tiba menjadi pembangkang? Menjadi pendurhaka kepada Allah? Tapi ya begitulah. Kita ini emang manusia yang ga tahu diuntung dan ga tahu diri. Kita ga kenal siapa kita. Lihat saja, berani-beraninya kita "memerintah" Allah untuk menunggu kita. Iya kan? Sedangkan, saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, seorang kopral, ga boleh dia memerintah sersan. Sersan, ga boleh memerintah kapten. Mayor, tidak bisa memerintah Jenderal, dan seterusnya. Hirarki itu, terjadi. Bahkan, seorang polisi yang berdiri di pinggir jalan, lalu lewat mobil jenderal, lalu dia tidak mengangkat tangan tanda hormat, maka secara kesatuan, ini akan jadi masalah buat dia. Nah, sekarang, tanya, siapa kita, dan siapa juga Allah? Terlalu amat sangat jauuuuuuhhhhh hirarki kedudukannya. Lah, bagaimana mungkin kemudian kita membiarkan Allah menunggu kita, atau kita memberikan perintah tunggu kepada-Nya, untuk menunggu kita? Astaghfirullah. Insya Allah orang bisa rada selamet soal shalat, ketika bisa berpikir begini, "Jangan sampe Allah menunggu saya. Kalo bisa, saya yang menyambut Allah. Sebab ga ada pantes-pantesnya. Masa Raja Diraja, Pemberi Karunia, yang dirindukan pertolongan-Nya dan bantuan-Nya, yang dinikmati rizki-Nya, lalu jadi yang menunggu saya? Emangnya, siapa saya?". |
*** |
Renungkan tiga esai ini dulu ya sebagai bahan kuliah hari ini. Kepada Allah kita berharap sejak ini TAUHID kita BUNYI. Maksudnya, ilmu tauhid kita itu nyata, berpengaruh ke kehidupan kita. Yakni manakala kita berusaha mengenal Allah di saat Allah datang saja dulu di waktu shalat. Likulli syai-in baabun. Wa baabut taqorrub ilallaahi, ash-sholaah; segala sesuatu ada pintunya. Dan pintu supaya bisa mendekatkan diri kepada Allah itu adalah shalat. |
*** |
Hidup Bersama Allah | |
|