21 October, 2009

Fadhilah Iman Kepada Allah Keutamaan Keyakinan Terhadap Allah




Disebut bertauhid manakala kita bisa mempercayai janji Allah sebab meyakini bahwa janji Allah adalah benar. Inilah bahagian tauhid, bahagian dari mempercayai dan meyakini Allah.

Begini, teori dasarnya, siapa yang meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan mengganti dengan yang lebih banyak; 2x, 10, 700x hingga lipatan pengembalian yang tidak terhingga. Keyakinan terhadap janji ini adalah juga bahagian dari tauhid. Semakin kita mempercayai Janji Allah, lalu bekerja dan menunaikan keyakinan ini, maka akan semakin hebat pengaruhnya pada diri kita.
Esai berikutnya sungguhpun terlihat seperti pembahasan tentang sedekah, sesungguhnya ini adalah pembahasan tentang tauhid; tentang keyakinan akan Keesaan, Kebenaran, dan Kekuasaan Allah.
Ada seseorang yang tidak yakin dengan dirinya, tapi dia yakin sama Allah, lalu menjajal. Ini saya sebut separuh keyakinan. Tapi ini saja, bisa sangat-sangat berhasil. Bahkan yang tidak punya keyakinan pun akan berhasil! Hanya saja, kepada mereka yang beramal tanpa keyakinan dan ilmu, akan beda rasanya. Buku terbaru saya: The Miracle, udah terbit. Dan buku ini banyak berbicara tentang hal ini (tauhid). (Tunggu saja ya BelanjaOnline di web ini aktif. Supaya peserta bisa mendapatkan buku ini hanya dengan mengklik ujung mouse dan keyboard saja. Pesan secara online via web kesayangan Anda ini, tahu-tahu buku itu udah di rumah, Web Admin).
Seorang ibu di Jember mengikuti tausiyah saya tentang janji Allah. Yang membuat dia tidak yakin, bagaimana bisa dirinya yang tidak ada siapa-siapa di rumahnya, dan dia tidak bekerja, lalu bisa mendapatkan rizki lebih? Tapi dia memilih percaya saja kepada Allah. “Allah punya sejuta cara jika sudah menghendaki sesuatu”, begitu katanya meyakinkan dirinya sendiri.
Dan keyakinannya ini mengantarkannya pada rizki. Dia bersedekah di acara, Rp. 5rb. Dia pulang dengan jalan kaki sebab ongkosnya dipakai bersedekah. Sesampainya di rumah, dia punya rumah dihampiri pengendara sedan yang sudah kebelet kepengen pipis. Selesai pipis, dia diberi Rp.50rb, atau 10x lipat dari yang disedekahkannya.
Peserta KuliahOnline yang dirahmati Allah, ini bukan hanya pengajaran sedekah. Sekali lagi ini pengajaran tauhid. keyakinannya terhadap Allah sudah menggerakkannya bersedekah. Sungguhpun uang itu adalah untuk ongkos, ia kalahkan. Dan keajaibanpun terjadi.
***

Pernah ada kisah seorang tukang ikan datang meminta amalan agar bisa punya modal lebih. Ketika ditanya buat apa modal lebih, dijawab supaya ada untung lebih. “Memangnya pasti tuh kalo modal ditambah, untung pasti bertambah?”. Dia ragu menjawabnya. Ya saya tahu, banyak yang memiliki kesadaran bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali aturan Allah. Tapi dia menjawab, “Secara hitungan sih, ya nambah untungnya Pak Ustadz. Tapi ya ga tau dah. Namanya juga nasib”.
Saya lalu bertanya kepada dia, rizki itu dari ikan, atau dari Allah?
“Dari Allah”.
“Minta saja sama Allah tambahan rizki, insya Allah ga kudu pake tambahan modal, rizki pasti nambah”.
“Yah, darimana jalannya Pak Ustadz? Darimana jalannya jika tidak ada tambahan modal?”
“Jalannya bukan nambah modal. Tapi nambah rizki dengan jalan-jalan Allah”.
Keterbatasan pengetahuan seseorang akan sumber rizki menyebabkan rizkinya juga terbatas. Tapi mereka yang terbatas pengetahuannya akan sumber rizki sebenernya cukup dengan memiliki ilmu tauhid, maka sudah akan bertambah-tambah rizkinya. Yakini saja bahwa Allah akan membukakan pintu rizki yang lebih banyak dan kemudian mau memintanya, maka sungguh, ini cukup baginya untuk bertambah rizkinya. Keyakinan saja kita tidak punya, apalagi amal kali. Barangkali.
Saya menambahkan si tukang ikan ini, “Pak, jalan-jalan Allah itu tidak sebatas tambah modal sebagai jalan yang Bapak yakini sebagai satu-satunya jalan. Sehingga Bapak bertanya darimana kalau tidak nambah modal? Sebab Allah memang tidak perlu sebab untuk menambah dan menutup rizki seseorang. Semua berdiri di atas Kehendak-Nya. Hanya, orang-orang yang beriman dan berilmu, tahu, bahwa untuk menghadirkan Kehendak Allah inilah diperlukan ikhtiar, diperlukan upaya. Nah, salah satu ikhtiar untuk menambah jalan rizki buat Bapak, adalah sedekah. Bahkan jalan ini Allah yang memberitahu, langsung lewat Kitab-Nya, al Qur’anul Karim”.
Sulit bagi si tukang ikan ini memikirkan bagaimana bisa sampai terjadi penambahan rizki. Tapi tidak sulit baginya mempercayai. Sebab mempercayai adalah menggunakan hati. Bukan akal. Hanya orang-orang yang bisa memahami dengan akal dan mengimani dengan hatilah yang derajatnya akan berbeda.
Terus, karena percaya, tukang ikan ini berjanji akan mencoba untuk bersedekah. Sore harinya (dia dagang pagi hari), dia bersedekah 5rb. Esoknya, ada kejadian. Ada seorang anak muda yang biasa minjem motor, minjem motor. Karena biasa, ya tidak ada yang aneh. “Silahkan,” kata si tukang ikan mempersilahkan anak muda ini memakai motornya. Nah, yang si tukang ikan tidak tahu, Allah lah yang mengatur kejadian ini. Allah Melihat dari Asry-Nya sana, bahwa dari situlah rizki si tukang ikan bisa terbuka. Sedang si tukang ikan, sebagaimana kita, hanya bisa melihat bahwa rizkinya ya dari usahanya, dari mejanya. Tidak punya spektrum yang lebih luas. Kita melihat sebatas mata. Sedang Allah tidak terbatas penglihatannya.
Hanya 15 menit anak muda ini memakai motor itu, sebagaimana biasanya, tapi anak muda ini memberi rizki tambahan, “Bang, makasih ya,” kata si anak muda ini, sambil mengembalikan STNK motor dan uang. Ya, uang! Rp. 50rb.
Peserta KuliahOnline, peristiwa ini bagi si tukang ikan amazing banget. Dia kemaren bertanya, darimana bakal bertambah rizki? Lalu dibawa ke persoalan tauhid. ke persoalan keyakinan, bahwa rizki di tangan Allah. Karena Allah itu di mana saja, maka rizki itu bisa darimana saja. Dan hari ini terjawab!
Begitulah kalau tauhid ini bekerja. Kisah di atas bukan hanya bertutur tentang fadhilah sedekah saja, tapi tentang fadhilah iman kepada Allah, keutamaan tentang meyakini Allah.

***

1 tahun yang lalu, ada seorang ibu mau daftar Umrah Ramadhan.
“Sendirian berangkatnya? Suami?,” begitu tanya saya ketika dia mengutarakan akan daftar umrah. Sendirian.
“Suami engga berangkat Ustadz”.
“Suami udah pernah berangkat?”
“Belum”.
“Mana enak berangkat sendirian?”
Ibu itu menjawab dengan senyumannya. Tahulah saya, bahwa persoalannya ada di uang. “Uangnya ga cukup ya?”.
Beliau mengangguk.
“Udah pernah ke Tanah Suci sebelumnya?”
“Belum”.
“Suami?”
“Belum”.
Wah, kalo gitu, ga usah daftar umrah dah.
Terperanjatlah si ibu ini, demi mendengar saya bicara begini.
Maaf ya, biasanya pemilik travel umrah, mana ada yang menolak rizki. Sebab pendaftar kan berarti rizki. Tapi karena saya bismillah buka travel bukan untuk bisnis semata, maka saya merasa lebih perlu memberi nasihat ibu ini bersedekah ketimbang menerima pendaftaran umrahnya.
“Tapi saya udah kepengen umrah, Ustadz”.
“Iya, tapi coba jajal yang satu ini. Ibu percaya ga bahwa pergi haji itu bukan karena uang?”
“Percaya”.
“Kalau percaya, minta saja sama Allah supaya sekalian berangkat haji saja. Mintanya jangan tanggung-tanggung. Minta berangkat bareng dengan suami”.
“Wah, darimana jalannya Ustadz? Ini saja boleh nabung dikit-dikit”.
Itulah kita, manusia. Pertanyaan darimana jalannya itu pertanyaan yang tidak bertauhid. Sebab orang mukmin tahu, jalannya itu adalah jalan Allah.
“Banyak Bu jalannya. Dan murah meriah. Kalau kuat berdoa, berdoa sepanjang waktu shalat, jangan kenal lelah dan jangan berhenti. Kalau perlu berdoa dengan menambah jam-jam shalat sunnah. Syukur-syukur mau bersedekah.”
Saya sarankan si ibu ini agar rela menyedekahkan uangnya. Dua-duanya sama-sama pekerjaan sunnat. Sebenernya kalau si ibu ini yakin, dia tetap memilih berangkat, lalu di Tanah Suci dia berdoa yang sama, ya berangkat juga. Namun saya bilang, kurang seru. Masa berangkat sendirian? Tidak ditemani pendamping hidup. Karenanya saya minta ibu ini bertaruh untuk menyedekahkan saja uang yang sedianya untuk umrah ini.
Ibu ini setuju. Uang USD2000 pindah tangan. Sebagiannya untuk pengembangan pembibitan penghafal al Qur’an, sebagiannya untuk anak-anak yatim dan dhuafa di luar pesantren Daarul Qur’an.
Jadi ga beliau Umrah Ramadhan? Tidak. Sebab uangnya ga jadi dipake daftar. Melainkan habis buat sedekah.
1 tahun berlalu. Bahkan lewat. Sebab sekarang ketika saya bercerita, sudah masuk Ramadhan. Sedang saya ketemu dengan ibu ini di bulan Sya’ban. 1 bulan sebelum Ramadhan. Tahun lalu.
2 bulan sebelum Ramadhan, travel haji umrah kami mengadakan manasik haji. Diselenggarakan di Sekolah Daarul Qur’an Internasional (Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an) yang berlokasi di Kampung Ketapang. Dekat dengan kediaman saya. Tahu ga? Ibu tersebut ada di barisan orang-orang yang ikut manasik haji. Bersama suaminya! Tentu saja saya mengenalinya.
Berceritalah dia termasuk di depan calon jamaah haji yang lain, bahwa Janji Allah itu benar. Tanpa dinyana, ga berapa lama setelah ia sedekahkan uang umrah kemaren lusa itu, Allah bukakan rizki yang buanyak sekali. Ada proyek yang diamanahkan ke beliau, dan keuntungannya melampaui biaya haji. Dia pakai untuk biaya haji dirinya dan suaminya, masih lebih. Ia menganggap kelebihannya itu adalah pengembalian Allah atas sedekah uang umrah, dan kemudian ia masih mendapat bonus lagi 2. Satu, berupa biaya haji berdua dengan suaminya, dan satu lagi keuntungan buat perusahaannya. Masya Allah.
Peserta KuliahOnline, inilah tauhid. kita pernah bicara kan? Bicara tentang tauhid, bicara tentang keyakinan, begitulah saya pernah bertutur di KuliahOnline ini.

***

Nah, terkait dengan persoalan umrah Juli tahun 2009 (saat esai ini ditulis masih 2008, Web Admin) , kita pake cara ini. Cara yakin kepada Allah dan bersedekah.
Saat ini September 2008. Yang kita incer, Umrah Liburan, Juli 2009. Masih ada waktu 10 bulan (pendaftaran terakhir Umrah Juli 2009, di akhir Juni 2009). Maka menabunglah. Tapi jangan menabung untuk biaya umrah. Menabunglah untuk “Sedekah Umrah”.
Saya katakan kepada wali santri saat itu (saat tercetus ide umrah bareng sekeluarga besar pesantren), bahwa berdasarkan teori dasar siapa yang memberi satu akan mendapatkan 10, maka didapat matematika seperti ini.
Santri bernama A, memiliki kakak dan adik 2 orang. Artinya, keluarga ini terdiri dari 5 orang anggota; ayah, ibu, dan 3 orang anak. Niatkanlah berangkat Umrah Liburan nanti.
5 x 15 juta biaya umrah = 75 juta.
Kalau punya uang, tidak masalah, tinggal daftar. Bagaimana kalau tidak punya uang? Sedang saya punya mau semua wali santri berangkat bersama seluruh anak-anaknya. Jangan ada yang ketinggalan. Apalagi kalau ga berangkat sebab ga punya uang, jangan sampai terjadi.
Kalau tidak punya uang, tempuh jalan tauhid. Tempuh jalan meyakini Janji Allah; doa dan sedekah.
Siapa yang mengeluarkan 1, dapet 10. Kalimat ini sama dengan: Siapa yang mau dapat 10, keluarkan saja 1. Maka, kalau diturunin pada kasus ini, siapa yang sedekah 7,5jt akan mendapatkan 75jt. Atau, siapa yang mau dapat 75jt, keluarkan 7,5jt.
Bagi mereka yang punya 7,5jt, sekarang-sekarang ini, keluarkan sekarang. Tapi bagi yang tidak punya cash untuk sedekah sebesar 7,5jt, maka cicil saja. Kan masih ada waktu 10 bulan? Bagi saja 10 bulan. Ketemu angkanya 750rb setiap bulannya. Cicil terus sampe bulan Juni. Dan yakini, bahwa insya Allah pada saatnya nanti Allah akan memberikan rizki untuk mendaftarkan umrah sekeluarga.
Bila ini yang diyakini, insya Allah akan terjadi apa yang kita yakini,. Inilah tauhid. Meyakini Allah, meyakini Janji-Nya, Keesaan-Nya, Kekuasaan-Nya, kebesaran-Nya.
Bahkan, di Buku The Miracle, yang sebagiannya juga dipelajari insya Allah di KuliahOnline, kita meyakini, bahwa bisa saja Allah membayar lunas dulu target kita, permintaan kita, padahal cicilan sedekah kita belum lunas. Atau bisa saja Allah memberi lebih dari sekedar 75jt. Sebab Janji-Nya memang demikian. Dia akan memberi hingga 700x lipat atau bahkan lebih.

***

Peserta KuliahOnline, rasanya tidak salah jika kemudian saya menyeru kepada seluruh wali santri agar memakai betul ilmu yang didapat ini. Bahkan saya menyeru kepada jamaah peserta kuliah, agar juga menerapkan ini. Hitung berapa anggota keluarga Anda semua, dan kalikan dengan biaya umrah. Kemudian kalikan 10% dari total biaya itu. Insya Allah kita ketemu dah di Tanah Suci.
Dan saya tegaskan kembali, ketika bicara ini, ini sudah melampaui bicara tentang sedekah. Tapi sudah jauh bicara tentang tauhid. Iman kita tentang tauhid, keyakinan kita tentang tauhid, akan mengantarkan kita mendapatkan keajaiban-keajaiban Janji Allah.
Dalam pada itu, saya kembali mengingatkan, bahwa bila semua ini mau berjalan mulus, nomor satu, tetap saja kita harus memperbaiki shalat kita. Ini adalah landasan tauhid. utamanya bila Anda mau menjajal sesuatu yang besar-besar. Benahilah shalatnya dulu. Maka besok insya Allah kita akan meneruskan kembali kajian tentang shalat dengan pengembangan pembahasan dari sisi tauhid.
Sampe ketemu lagi besok. Mudah-mudahan panjang umur.
Mohon doa dari semua peserta. Kemaren, tanggal 9 September 2008, kami merayakan ulang tahun perkawinan kami yang ke-9, 9th wedding anniversary kami. Masya Allah, makasih doanya selama ini. Doa dari Anda semualah yang juga turut sudah menjaga kami.
Baarokawloohu lanaa. Salam.

***

Menunda Dunia Untuk Allah


Bagi saya, persoalan shalat adalah persoalan tauhid. Sebab tauhid kan sederhananya: Mengenal Allah. Lalu bagaimana kualitas shalat kita, sebagaimana itulah kita bertauhid kepadanya. Memang ada urusan lain di urusan shalat, tapi semua bermula dari sini... Dari shalat...
Perrmohonan maaf kepada para peserta sebab kemaren sempat kosong tidak ada materi. Alhamdulillah pagi ini kita ketemu lagi. Insya Allah pembahasannya masih seputar shalat. Sebab buat saya, urusan shalat itulah urusan tauhid.
Kemaren pagi jam 11 saya nemanin istri saya check-up kami punya baby di rumah sakit. Diberitahu bahwa dokternya hanya sampe jam 13 saja. Alhamdulillah, urusan shalat nomor satu. Saya mengincar pom bensin di menjelang Mal Puri. Di sana ada tempat shalat yang bersih. Saya belajar seperti ini. Dan saya menyuarakan agar sebanyak-banyaknya orang juga begini. Betul-betul waspada di urusan shalat. Dan alhamdulillah malah nyampe jam 12.40-an. Masih belum terlambat.
Nah, kadang suka timbul pikiran begini, shalat di sana saja dah. Takutnya telat. Ntar dokternya malah pergi lagi. Akhirnya malah kadang terlambat semua mua. Datangnya juga terlambat. Dan sering juga akhirnya shalat di akhir waktu. Saya menikmati benar mendahulukan Allah ini. Saya yakin, yang punya jalan adalah Allah. Sehingga kalau mendahulukan Allah, niscaya jalanan akan dibuat lenggang oleh Allah Pemilik Jalan.
Begitulah Saudara-saudaraku, peserta KuliahOnline. Percuma juga kita bicara Allah bila kemudian urusan shalat kita berantakan. Persoalan shalat sebenernya dijadikan Kuliah Dasar tersendiri. Namun, karena bagi saya ini persoalan yang mendasar, maka ia dijadikan sebagai bahagian dari Kuliah Tauhid.
Kalau dilihat perilaku manusia-manusia di Indonesia ini, memang bertuhan namun sebenernya masih perlu dipertanyakan lagi ketuhanannya. Sebab seperti ga kenal sama Allah. Contoh, di dalam pesta perkawinan, wuh, soal shalat, kayak ga ketemu shalat tepat waktu di sini, kecuali segelintir saja. Di mall, di perkantoran, di gedung-gedung, sedikit sekali yang betul-betul memerhatikan shalat sebagai cerminan bertauhid yang benar.
Ok, sebagai kelanjutan bicara-bicara ini, mari kita lanjutkan pembahasan seputar shalat. Selamat menikmati esai-esai pendek. Saya pilih juga cara penyajian dengan esai-esai pendek agar peserta mudah mempelajari dan memahami. Juga mudah mendistribusikan lagi kepada yang lain sebagai perpanjangan dakwah saya dan kawan-kawan. Amin.
Robbij’alnii muqiimash sholaah wa min dzurriyyatii, ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak keturunanku sebagai orang-orang yang menegakkan shalat…

Shalat Cermin Tauhid Persoalan Shalat, Persoalan Tauhid


Ada hadiah dari Allah
buat siapa saja yang mementingkan diri-Nya

Si A, membawa surat interview.
Dia ini orang yang terbiasa tepat waktu.
Ia gelisah. Sebab di surat interview itu, ia dipanggil jam 11.00. Jam yang rawan bagi dia.
Rawan apaan?
Rawan untuk tidak bisa mempersiapkan diri shalat tepat waktu.
Subhaanallaah! Padahal jam 11 kan masih jauh? Masih 1 jam menuju waktu shalat.
Iya. Itu kalo dia prediksi wawancara bisa berlangsung tepat waktu. Bagaimana kalau pewawancara telat. Atau ia datang di urutan wawancara nomor ke sekian? Atau wawancara akan masih berlangsung sedang waktu shalat sudah menjelang. Lihat ya, baru "sudah menjelang", bukan sudah datang.
Pikiran ini betul-betul mengganggu si A ini.
Tapi karena dia butuh pekerjaan, kemudian dia tetap memutuskan untuk datang.
Jam 11 kurang dia sudah sampai. Dia catatkan namanya untuk interview. Ternyata hanya dia seorang. Aman nih.
Tapi apa yang terjadi? Ternyata si penginterview dipanggil oleh direksi. Sampe jam 11.30-an ga kunjung ada kejelasan apakah wawancara bisa dilaksanakan atau tidak, atau di jam berapa wawancara bisa dilaksanakan.
Di mata si A ini, pertanyaan itu jelas ia jawab, atau bahasa lainnya, jawabannya jelas: Batal.
Betul: Batal.
Dia memilih tidak wawancara bila wawancara itu dilakukan di jam 12 lalu mengganggu jadual shalatnya. Masya Allah.
"Mbak, saya izin dulu ya. Nanti saya balik lagi. Saya titip tas di sini," katanya kepada resepsionis.
"Bawa aja tas nya. Emangnya mau kemana? Bapak sebentar lagi barangkali datang."
"Mau shalat dulu."
"Oh… Silahkan… Nanti saya beritahu Bapak."
Alhamdulillah, pikir si A. Kirain akan dimarahin. Ini malah dipersilahkan dan akan dibantu untuk memberitahukan ke pewawancara. Alhamdulillah.
***
Sesampenya si A di ruang mushalla, belum ada orang. Sebab baru jam 12.50. saat itu, zuhur jam 12.08.
Kira-kira jam 12-an lewat, tapi belum datang saatnya azan, datang seorang bapak. Bersih wajahnya. Berseri. Bapak ini sudah datang dalam keadaan berwudhu. Ditemani oleh dua orang lagi di sebelahnya. Juga dalam keadaan sudah berwudhu nampaknya. Sebab si A tidak melihat ada tanda-tanda bekas air wudhu baru.
"Mas, bukan pegawai sini ya?" tanya salah satu dari yang tiga orang tersebut.
"Iya Pak"
"Eh, kemana yang azan? Koq belum azan nih?" cetus lagi yang satu, sambil melihat jam.
"Saya saja Pak yang azan," kata si A.
Dalam keadaan rapih baju dan celananya, dan dalam keadaan wangi, si A, azan. Ada rasa kebanggaan di hatinya, bahwa dia bisa mengalahkan interview untuk dapat azan dan shalat zuhur berjamaah.
Berdirilah yang tiga orang tersebut, sambil menunggu azan selesai. Seolah-olah mereka mendampingi si A ber-azan.
Selepas azan, si A tidak sempat lagi bicara-bicara dengan tiga orang tersebut. Sebab mushalla sudah keburu ramai.
Hanya, selepas shalat ba’diyah, pundaknya ditepuk oleh salah satu dari yang tiga. "Mas yang akan diwawancara oleh saya ya?"
Kagetlah si A. Rupanya ia bersama-sama sang pewawancara. Satu shaf.
"Yang ngimamin shalat itu, Dirut kita," katanya datar. "Kita tunggu beliau selesai shalat sunnah."
Singkat cerita, malah si A itu diajak makan siang bersama. Dua dari yang tiga, adalah direksi. Sedang yang mewawancara pun nampaknya memiliki jabatan yang cukup tinggi di kantor tersebut.
Sungguh beruntung si A. Ia jaga shalatnya, malah Allah dudukkan dia dalam posisi yang sangat mulia.
Bagaimana lalu dengan awawancaranya? Ya sudah tidak perlu diwawancara kali. Pertemuan di mushalla, dan azannya si A, sudah menyelesaikan wawancara. Alhamdulillah, subhaanallaah.
Para Peserta Kuliah Online yang budiman, kalau kita hidup dalam aturan Allah, maka Allah akan mengaturkan hal-hal yang terbaik buat kita. Allah Maha Mengendalikan dunia ini, dan DIA Maha Mengetahui apa yang akan terjadi. Pintu rizki pun di tangan-Nya. Bukan di tangan siapa-siapa.
***
Memberi Jam yang Terbaik
Allah begitu baik sama kita.
Sedangkan kita?

Judul di atas bukan bermaksud memberi hadiah jam tangan. Bukan. Maksudnya, memberikan waktu terbaik kita buat Allah. Tidak mudah loh menerapkan hal ini. Makanya, mintalah bantuan, bimbingan, dan pertolongan Allah, agar bisa memberikan kepada Allah, waktu terbaik untuk-Nya.
Jadilah orang yang berbahagia, di mana ketika orang sedang sibuk-sibuknya, kita bisa memotong menghadiahkan waktu yang berharga yang kita miliki, buat Allah. Bukankah sejatinya semua punya Allah?
Berikut ini kira-kira waktu terbaik kita:
  1. Waktu istirahat kita di pertengahan malam, di dua pertiga malam, dan atau di sepertiga malam. Untuk bangun malam. Untuk ruku’ dan sujud, memuji Allah dan memohon pertolongan-Nya. Memohon bimbingan-Nya agar kita tidak kelelahan dalam menjalani hidup ini. Agar anak-anak menjadi anak-anak yang saleh salehah. Agar orang-orang tua kita panjang umur, sehat dan diampuni Allah. Dan masih banyak lagi lah. Wuah, ini berat. Tidak sedikit yang tidak mampu mengorbankan waktu tidurnya. Karena lelahnya mencari dunia, kita lalu tidak bisa bangun malam. Atau karena banyaknya dunia yang di tangan kita, kita lalu berat untuk bangun malam. Suasana pun barangkali sedang nyaman, tidak sedang bermasalah.
  2. Waktu pagi. Ketika manusia langsung ngebut dengan pekerjaannya, dengan usahanya, dengan kesibukannya, kita korbankan dulu barang sedikit untuk menegakkan shalat dhuha. Dan sebelumnya, ketika manusia langsung berburu dunia, kita malah tahan dulu barang sebentar untuk menegakkan shalat shubuh. Subhaanallaah. Kalau bisa shalat shubuhnya di masjid. Masya Allah. Kita ajak anak-anak dan istri.
  3. Jam zuhur. Jam sibuk-sibuknya. Traffic lagi tinggi-tingginya. Ketika pelanggan lagi banyak-banyaknya, kita ridho meninggalkannya demi Yang Memiliki diri kita dengan seluruh pemberian-Nya. Ga usah khawatir degan berkurangnya perniagaan. Lihat saja Mekkah dan madinah. Ketika jam shalat, mereka tutup. Akhirnya apa? Allah malah memberikan international buyer, pembeli internasional. Bukan sekedar local buyer.
  4. Jam ashar. Jam ngantuk. Kita segarkan diri kita, dengan air wudhu. Kita segarkan batin kita, jiwa kita, raga kita, dengan shalat ashar. Sungguh banyak kemuliaan bacaan-bacaan habis ashar. Insya Allah akan saya banyak tulis di website.

Jam macet. Jam pulang. Banyak manusia yang terjebak di kemacetan, karena berburu pulang cepat. Akhirnya tetap saja kemaleman karena memang macet. Kalau memang macet-macet juga, kenapa tidak kita tunggu saja sampe maghrib usai. Atau syukur-syukur kita sekalian selesaikan isya, baru kita pulang. Kalau tetap khawatir, misalkan pulang jam 5, maka jam 18 mampir ke masjid. Jalan lagi usai maghrib. Lalu, mampir lagi jelang isya. Dan jalan lagi setelah shalat isya. Repot memang. Tapi insya Allah yang begini ini yang kelak akan Allah istimewakan. Manusia mau lelah, mau cape. Tapi kali ini cape dan lelahnya, buat Allah. Bukan seperti selama ini yang untuk dunianya, untuk perutnya, untuk keseombongannya, untuk hawa nafsunya. Subhaanallaah.

***
Habis, Kita Digaji Beliau Sih...
Kita tidak pernah tahu dengan sungguh-sungguh
darimana rizki kita berasal. Barangkali, karena
itulah kita jarang mengistimewakan Allah.

"Pak Helmy, ke ruang saya ya…", perintah bos besar, datar. Tanpa ada nada suruh cepat-cepat, dan tidak ada juga perintah untuk bersegera. Perintahnya bener-bener datar.
Bos besar ngangkat telpon, dan menekan shortcut number yang tersambung ke ruangan Pak Helmy, dan lalu bicara begitu: "Pak Helmy, ke ruang saya ya…".
Itupun dilakukan si bos besar ini tanpa menunggu jawaban dari Pak Helmy, apakah bisa atau tidak. Dan bos besar pun tidak tahu juga barangkali siapa yang ngangkat telpon di ruangan Pak Helmy tersebut. Apakah benar Pak Helmy, atau bukan?
Dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita jadi Pak Helmy, maka kita wajibkan diri kita untuk menyegerakan diri ke ruangan bos besar. Kita lalu merapihkan diri, dan bahkan seperti sudah menebak apa kemauan bos besar, kita ke ruangannya membawa data-data yang barangkali diperlukan, supaya bos besar senang.
Kalau kita jadi Pak Helmy, umpama ternyata sekretaris ruangan Pak Helmy yang mengangkat telpon itu, lalu kemudian si sekretaris ruangan itu lupa menyampaikan bahwa bos besar memanggil, maka marahlah Pak Helmy, dan bersegeralah dia meminta maaf kepada bos besar seraya menyampaikan bahwa dia salah.
Kalau kita ditegor orang, "Duuuh, segitunya kalo dipanggil bos…". Maka kita akan menjawab, "Ya wajarlah. Sebab dia kan bos nya saya. Dia yang menggaji saya. Saya bekerja di perusahaan ini sebab kebaikan dia".
Luar biasa. Begitu hebatnya "tauhid" kita kepada bos besar tersebut.
Lalu, bagaimana dengan panggilan Allah? Bagaimana keadaan hati kita? Bagaimana keadaan diri kita? Bagaimana penampilan kita? Bagaimana sikap kita? Silahkan jawab sendiri. Masing-masing. Dengan jawaban yang paling jujur dari sikap dan perilaku kita selama ini.
Semoga Allah menyayangi kita semua.
***
Ani SBY
Adalah wajar menghormati dan menghargai seorang manusia, karena kedudukannya, karena kemuliaannya, karena kekayaannya. Tapi menjadi tidak wajar, bila kemudian Pemilik Kesejatian Kedudukan, Kemuliaan, Kekayaan, tidak kita hormati tidak kita hargai.
Ini bukan tulisan esai yang pro partai demokrat. Ini juga bukan cerita tentang seseorang yang membela SBY. Ini hanya cerita seorang anak bangsa yang bangga sama ibu negaranya, istri presidennya yang berkuasa saat ini (SBY adalah presiden Indonesia saat tulisan ini dibuat, Web Admin). Itu saja.
Ok, saya memprologkan hal ini, sebab saya memang senang dengan Bu Ani SBY. Istri dari SBY. Senang. Sederhana. Kelihatan tidak neko-neko. Tidak kedengeran bisnis yang macam-macam. Nampaknya sosok ibu dan istri yang baik. Dan ini bukan tulisan yang menyatakan ketidaksenangan dengan beliau. Justru lantaran senangnya. Tulisan ini menjadi ada, karena Allah menjadikan ini sebagai pelajaran buat saya.
Pada satu saat, ada pameran buku-buku di Dunia Islam yang pembukaannya saya diundang utuk hadir. Dan katanya, dihadiri oleh Bu Ani SBY sebagai istri Presiden yang bakal membuka pameran secara resmi.
"Pengawalannya ketat Pak!" kata salah satu panitia.
Yang lainnya menimpali, "Iya, seluruh penyewa ruangan pameran, ga boleh lagi masukin barang sejak jam 11 malam tadi".
"Betul-betul diawasi", kata yang satunya lagi.
Saya mendengar dialog ini. Saya yang udah mau nerobos masuk, jadi ga enak. Bukan sombong, insya Allah wajah saya diberi keleluasan untuk masuk, he he he. Ada pengecualian. Coba saja saya dilarang masuk, ya saya pulang. Kalo saya pulang, maka jadual baca doa, jadi berantakan, he he he. Tapi saya tahan langkah saya ini. Biarlah sistem yang bekerja. Toh kalau panitia butuh, dia akan nyari saya. Namun, pelajaran tauhid, bergetar di hati saya. Saya bergumam di dalam hati, subhaanallaah. Untuk kedatangan pembesar negeri ini, dan ini baru istrinya, manusia sudah dibuat repot, he he he. Kenapa ya kalo yang datang Allah, kita tidak repot? Nah!
Coba aja lihat, barang-barang boleh masuk ke ruang pameran, jam 11 semalam sebelumnya. Dan di pagi hari, engga boleh lagi ada yang keluar masuk 2 jam sebelumnya. Sebab apa? Ya sebab tadi. Bu Presiden bakalan masuk ruangan. Clear Area.
Bagaimana dengan Allah? Bagaimana dengan kedatangan-Nya di waktu shalat?
Allah, hanya minta waktu sama kita untuk tepat waktu. Kita tidak disuruh bersiap-siap yang berlebihan hingga kemudian kita malah melupakan dunia kita. Kita hanya disuruh pada saatnya menghadap, tinggalkanlah perniagaan, tinggalkanlah jual beli. Itu kalau mau beruntung. Tapi lihat? Manusia lebih menghargai manusia yang lebih terhormat. Tidak mau melihat Yang Maha Terhormat. Manusia lebih bisa menghargai manusia lain yang lebih kaya. Tidak menghargai Yang Maha Kaya, Yang Teramat Kaya. Manusia, lebih menghargai terhadap mereka yang punya kekuasaan dan pengaruh lebih. Tapi terhadap Allah, Yang Maha Kuasa dan Teramat Kuasa, ya begitu dah bentuk penghargaan dan penghormatan kita. Kita tau sendiri bagaimana bentuknya.
Maka diri ini berpesan kepada diri ini sendiri, seyogyanya berkenalanlah dengan Allah. Lewat hati. Supaya bisa mementingkan Allah, menghargai Allah, menghormati Allah, lebih dari siapapun di dunia ini.
***
Gelisah
Bilakah kegelisahan menghilang dari kalbu kita manakalah kita mengabaikan waktu shalat?
Bila datang sebentar lagi waktu shalat, dan kita tahu siapa yang bakal turun ke langit dunia (yaitu Allah), sedang kita masih di jalan tol misalnya… bersyukurlah bila kemudian dikarunia hati yang gelisah. Gelisah apa? Gelisah tidak bisa shalat tepat waktu.
Di mana kita ketika waktu shalat tiba? Pertanyaan ini kita tanyakan kepada diri kita. Kalo kita menjawab, alhamdulillah kami sudah di dalam masjid # alhamdulillah kami sudah dalam keadaan berwudhu dan di atas sajadah # alhamdulillah kami sudah berjalan menuju masjid # maka bersyukurlah. Jangan sampe kemudian kita merasa "aman-aman" saja. Bahkan tidak gelisah sama sekali ketika jam shalat sudah mau habis.
Ya, banyak manusia yang gelisah dengan pendapatannya hari itu. Banyak manusia yang gelisah dengan proyek-proyeknya hari itu. Banyak manusia yang resah dengan masalahnya yang belum juga selesai hingga di hari itu. Banyak orang tua yang gelisah dengan keadaan anaknya yang sudah makan atau belum kalau anaknya pulang terlambat, dan gelisah kalau tidak ada tanda-tanda anaknya bakal datang. Tapi siapa yang mampu gelisah sebab khawatir shalat tidak tepat waktu?
Sebuah keutamaan adanya bila kemudian kita datang ke tempat shalat, menyiapkan diri untuk shalat, tapi waktunya azan belum lagi datang. Artinya, kitalah yang datang duluan. Adem rasanya.
Kalau kita tiada gelisah dengan kondisi buruknya shalat kita, maka Allah akan berikan kegelisahan itu di hati kita, sampai kita tidak tahu jawabannya apaan.
Kan banyak tuh orang-orang yang gelisah tapi ga tahu kenapa dia bisa gelisah? Maka coba aja jajal koreksi dari sisi ini.
***
Bicara Tauhid, Bicara Keyakinan

Bahagia bener saya pagi ini. Hampir jam 01 saya bangun dari tidur yang terasa sudah terlalu lama. Ugh, padahal saya lihat jam, saya trnyata baru tidur jam 11 malam tadi.
Saya bahagia sebab saya pulang jam 00 lewat dalam keadaan saya sehat. Saya masuk ke kamar saya, istri saya tertidur dengan pulasnya. Dan di sebelahnya tertidur jagoan kecil kami, Muhammad Yusuf al Haafidz, juga dalam keadaan yang sehat. Saya kontrol kamar Wirda, Qumii dan Abang Kun. Semuanya tertidur pulas. Ada ketenangan di wajah-wajah mereka. Saya cium Wirda dan saya mendoakan anak-anak saya. Tidak lupa juga saya doakan para santri.
Saya bahagia, sebab jam 10.30 malam sebelumnya saya ketemu dengan Haji Amril dan Ibu Amril. Dua donatur pondok yang sudah menganggap kami sebagai keluarga mereka dan mereka juga sebagai keluarga kami. Dari awal kami membangun Bulak dan hingga ke Sekolah Internasional ini, beliau berdua dan keluarganya menemani kami. Saya makan roti cane plus kare. Duh, nikmatnya diberi kesehatan.
Saya bahagia, bahwa jam 21 sebelumnya saya berangkat ke Ustadz Abu Sangkan, pimpinan Shalat Center yang menggerakkan Indonesia untuk shalat khusyu’. Ustadz fenomenal ini salah satu inspirasi saya. Saya bahagia saya didoakan di tengah-tengah ribuan jamaahnya yang saat itu hadir di Shalat Center di Jati Makmur, Pondok Gede. Di sana, ada satu jamaah yang juga sudah seperti keluarga bagi saya pribadi, Haji Syamsul Ma’arif Surabaya. Dan dari beliaulah menjadi wasilah saya ketemu dengan Ustadz Abu Sangkan. Say didoakan Ustadz Abu Sangkan agar lidah saya, hati saya, pikiran saya, gerakan saya, menjadi atas nama Allah. Dan cukup panjang bagi saya Ustadz Abu Sangkan mendoakan saya, hingga saya hampir-hampir meneteskan air mata. Ya, saya rasa, beginilah ketika tamu-tamu saya datang ke pesantren, selalu saya bacakan doa di tengah-tengah santri. Barangkali inilah salah satu balasan Allah untuk saya dan keluarga saya. Alhamdulillah. Saya pun bahagia, begitu mau pulang saya dihadiahinya buku “Spiritual Salah Kaprah”. Alhamdulillah.
Saya bahagia, jam 17.00 nya kurang lebih, saya sampai di kediaman Haji Ramos, orang tua dari Fadhil santri kami. Meskipun jaraknya terasa jauh, Ketapang-Cilegon, namun ditempuh “hanya” satu jam dari pondok. Dan saya manfaatkan untuk istirahat. Saya jalan jam 16, setelah sebelumnya menyempatkan berjamaah dengan indah bersama satu dua guru yang tersisa di pondok dan para tukang. Diimami oleh mertua saya. Alhamdulillah.
Saya tiba, anak-anak santri yang saat itu berjadwal buka puasa dan tarawih bareng di kediaman Haji Ramos tampak bahagia sekali. Ternyata memang para santri benar bahagia. Senang. Sebab kediaman Haji Ramos ini unique. Ada kolam renang yang terkoneksi dengan sekian rumah yang melingkar di Cilegon Residence, di bahagian tengahnya. Dan kolam renang itu seperti di tempat pelesir. Para santri senang, saya tambah senang lagi melihatnya. Saya bercanda dengan Fadhil dan beberapa santri kawan Fadhil, “Jangan kebetahan ya, nanti lupa balik ke pesantren, he he he”.
Saya bahagia, sebab jam 17.15 nya saya bercengkerama dengan beberapa wali santri yang lain yang ternyata turut diundang di acara tersebut, sehingga menjadi hadiah yang tidak terkatakan buat saya besarnya. Kesempatan berdialog dengan wali santri adalah sesuatu yang mahal buat saya. Bisa berbagi, bisa share, bisa satu rasa.
Saya bahagia, di antara percakapan kami adalah tentang Baitullah. Tentang rumah Allah.
Fabi-ayyi aalaa-i robbikumaa tukadzdzibaan, nikmat mana lagi yang engkau dustakan? Tanya Allah kepada kita semua.
Saya bahagia menjadi bahagian dari dakwah ini. Mudah-mudahan saya bisa menemani perjalanan Saudara semua sambil turut pula belajar.

***

Sebenarnya banyak lagi kebahagiaan saya yang rasanya kalau saya tulis terus, saya tidak akan bisa istirahat sampe shubuh, he he he. Nanti saya pecah-pecah deh tulisan ini terus, hingga saya juga kepengen bercerita tentang perjalanan religi ke Baitullah, bersama rombongan besar para santri dan keluarganya, sekeluarga, ibadah umrah bareng, mengisi liburan Juli 2009, tahun depan.
Di kediaman Haji Ramos dan di hadapan para wali santri dan santri, saya mengajak semua menabung sedekah untuk umrah. Saya tanya Haji Ramos, berapa orang anaknya? Beliau menjawab tiga. Berarti lima, kata saya. Lima dikali lima belas juta, sama dengan tujuh puluh lima juta.
Besar ga biaya umrah berlima? Kalau tujuh puluh lima juta rupiah? Dijawab, besar. Dan memang besar. Tapi saya katakan, “Bagaimana kalau saya katakan kepada Saudara semua, bahwa untuk berangkat berlima, Umrah Juli 2009, hanya perlu dana 7,5jt saja. Ga kudu 75jt”.
Saya melihat para jamaah dah kaget dengan kalimat saya. Ya, sebab mereka keluarga besar Daarul Qur’an, sudah terbiasa dengan “hitung-hitungan” sedekah. Disebut hanya perlu 7,5jt, adalah perkalian 10% dari 75jt. Di mana 7,5jt itu dikeluarkan sebagai sedekah kita jika kita ingin pergi umrah berlima (asumsi pergi umrah plus oleh-oleh, sebesar Rp. 15jt/orang).
Bahkan, karena sekarang masih bulan September, sedang umrahnya baru Juli tahun depan, ada 9 bulan kesempatan kita untuk “menabung” untuk “sedekah”. Berapa? Per bulan “hanya” 800rb saja. Jika konsisten menabung dengan hanya 800rb per bulan, maka pada bulan Juni tahun depan, sudah akan ada rizki khusus umrah sebesar 75jt. Insya Allah.
Kalau mau cepat, misalkan ada dana tabungan sebesar 7,5jt, ya bayarkan saja sekarang-sekarang ini. Panjer duluan. Bilang sama Allah, ya Allah aku sedekahkan 7,5jt ini karena-Mu ya Allah, tapi izinkan berangkatkan saya dan seluruh keluarga saya ke tanah suci, dengan kemudahan biaya dari-Mu. Gitu doanya. Insya Allah pasti berangkat dah.
Kalau mau ringan, jual-jualin beberapa barang di rumah andai tidak ada uang 7,5jt sekaligus. Misalkan emas, atau apa. Sisanya baru dicicil. Ibarat kredit 7,5jt, DP-in aja berapa. Misalnya 4jt, hasil dari kumpulan tabungan dan jual-jual barang. Maka sisanya 3,5jt lagi. 3,5jt lagi ini dicicil dah selama 9 bulan. Cicilan sedekah. Jumlah angsurannya akan mengecil. “Hanya lebih kurang 375rb saja.
Kalau ga mau bayar yang 3,5jt nya lagi, alias dicukupkan dengan sedekah yang 4jt tadi, cukup dibantu dengan merajinkan dhuha dan minta sama Allah, insya Allah juga berangkat.
Jika bener-bener tidak punya apa-apa, pun Allah masih menyediakan cara yang lain. Yakni pasang niat untuk bersedekah 7,5jt andai Allah beri rizki. Artinya, kita minta diingatkan oleh Allah, andai ada rizki 7,5jt, maka itu adalah udah diniatkan untuk sedekah. Kemudian tambah dengan doa dan ibadah yang benar. Insya Allah berangkat juga.
Ini adalah juga bahagian dari implementasi tauhid. Bicara tauhid, bicara keyakinan. Wong sekedar percaya bahwa Allah akan memberangkatkan umrah di Juli 2009, maka sungguh akan benar-benar berangkat. Allah tidak perlu dengan segala rupa ikhtiar kita. Bagi-Nya, ikhtiar kita hanyalah adab saja, ibadah saja, dari kita untuk-Nya. Tidak berpengaruh andai keputusan-Nya sudah diturunkan untuk kita berangkat.
Loh, katanya mau istirahat ya? Iya, udah jam 02.04. Lama ya? Ya, sebab sekalian bantu-bantu istri yang menyusui dede bayi. Saya sempetin mijit kakinya istri dulu, dan menyelimutkan kakinya yang katanya berasa dingin. Yah, alhamdulillah, ini pun menambah kebahagiaan tersendiri. Ok, habis ini mau shalat, nyahur, lalu istirahat. Supaya bisa ngimamin di pondok. Alhamdulillah, shubuh ini sudah masuk juz ke-8.
Sebelum sahur dan istirahat, saya sertakan 3 esai Kuliah Tauhid. judulnya:
# Menjawab Panggilan # Budek ya? Dan # Tidak Bergegas.
3 Esai ini saya sertakan sebagai lanjutan esai sebelumnya.

Selamat mengikuti.
***
Jawab Panggilan
Apakah kita termasuk yang dipanggil-Nya?
Apakah kita tahu bahwa kita termasuk yang dipanggil-Nya?
Apakah kita termasuk yang memenuhi panggilan-Nya?
coba marilah kita jawab bersama,
dengan jawaban yang jujur.

Ketika diabsen sama guru, satu demi satu anak menjawab: Hadir pak!
Sesungguhnya, ketika azan memanggil, bolehlah kita sebut “Allah sedang mengabsen kita”. Banyak di antara kita yang tidak bisa menjawab panggilan azan, bukan karena dia tidak mendengar. Tapi lebih dikarenakan dia tidak di dalam masjid/mushalla/tempat shalat.
Ibarat anak yang sedang diabsen gurunya, meski namanya sama, dan dia dengar dari luar kelas, tentu dia tidak akan menyahut. Sebab dia tidak berada di kelas itu. Kiranya, demikianlah juga adanya analogi azan dan jawaban azan.
Indah betul rasanya bila kemudian kita bisa menjawab: Allahu akbar, Allahu akbar. Yang begini ini sebab muadzdzin mengucapkan kalimat Allahu akbar, Allahu akbar. Kecuali hayya ‘alashsholaah dan hayya ‘alal falaah, jawaban yang lain, sama dengan kalimatnya muadzdzin.
Bayangkan Allah sedang mengabsen saudara, lalu saudara mengacungkan tangan: “Saya sudah di sini ya Allah…”. Subhaanallaah.
Dan sekarang bayangkan juga betapa sedihnya hati kita bila kemudian Allah mengabsen, tapi kita masih di pasar, masih meeting, masih makan minum, masih di kantor, masih di perjalanan. Rugi betul kita ini.

***
Budek Ya...
Bila kita punya anak, maka kita sungguh akan senang bila kita memanggil anak kita dan anak kita menjawab panggilan kita. Dan sebaliknya, kita akan sebal manakala kita tahu anak kita mendengar panggilan kita, namun ia tidak menjawab panggilan kita.
Sebagai orang tua, hal yang biasa bila kita memanggil anak kita. Dan sebagai orang tua, adakalanya kita memanggil anak, lalu anak segera bergegas menuju kita, dan adakalanya dia lebih peduli dengan kegiatannya.
Pada saat anak kita menjawab panggilan kita, kita senang. Dan bila anak kita tidak menjawab panggilan kita, kita kemudian menjadi tidak senang.
Ada juga anak yang menjawab tapi seperti tidak menjawab. Misalkan anak kita sedang main gitar di depan rumah, atau sedang menggambar. Kita panggil, dia nyahut. Tapi kita tunggu beberapa lama, dia yang sudah nyahut, tapi tidak kunjung datang. Sebab sibuk dengan gitar atau asyik dengan menggambarnya.
Kita panggil lagi. Lalu dia tidak nyahut lagi. Akhirnya kita samperin. Begitu kita samperin, barulah kemudian anak kita berdiri dan meninggalkan kegiatannya.
Begitulah kita terhadap Allah.
Ada juga bahkan anak yang tidak sedikit kesal karena dipanggil sama kita orang tuanya. Panggilan kita dianggap mengganggu mainnya, mengganggu aktifitasnya.
Masya Allah, kita pun kadang suka begini. Lihat saja, sebagian kita malah berkata begini: “Ya Allah, udah ashar lagi aja…”.
Terhadap anak yang tidak mendengar panggilan kita, kita lalu berkata begini ke anak kita: “Budek ya….”.
Jika demikian, apa kira-kira perkataan Allah kepada kita, ketika dipanggil oleh-Nya lalu kita tidak bergegas memenuhi seruan-Nya?
***
Tidak Bergegas...
Jika kita memanggil anak kita, kita akan bertambah senang bila anak kita bukan sekedar menjawab panggilan kita, tapi bergegas memenuhi panggilan kita.
Kelakuan manusia sekitar kita, adalah kelakuan kita. Tidak jarang kita dimudahkan Allah untuk berkaca tentang kelakuan kita dari melihat kelakuan orang lain. Khusus perihal shalat, kita sering melihat, langkah kita adalah seperti bukan langkah yang mengenal Allah. Sudah mah tidak bergegas, kelakuan kita pun ampuuuunnn dah. Tidak mencerminkan sedang ditunggu Allah. Seakan-akan benar-benar kita tidak tahu siapa yang sedang menunggu kita. Astaghfirullah. Saya menulis ini pun sesungguhnya adalah juga termasuk yang disebut ini.
Lihat saja kelakuan kita. Di pinggir masjid, di teras, kita masih “tega” merokok dulu, menghabiskan batang rokok yang masih tanggung kita hisap belum habis. Ada lagi orang yang jalan menuju Allah sambil ngobrol cekikikan, dan jalan dengan teramat slow. Ada lagi yang sudah komat, masih terima sms dan mengirim sms ke sana kemari. Ada yang kemudian sampe mengganggu jamaah yang laen sebab lupa dimatiin suara HP nya. Ada lagi yang kemudian tidak merapihkan pergelangan lengan bajunya. Ada yang mengendorkan dasinya. Ada yang mengeluarkan bajunya padahal sudah rapih sebelum masuk masjid. Dia jadi celaka, sebab dia buang air kecil sebelum wudhu. Itulah sebab ia tidak merapihkan lagi pakaiannya.
Coba, kalau sudah siap sebelum azan. Misalkan sepuluh menit sebelumnya, dua puluh sebelumnya, kan kejadian-kejadian seperti tadi tidak akan ada.
Ada yang berkata, saya ga begitu dah ustadz. Kalo ga begitu, bagus. Tapi kalo iya, mbok ya mikir. Ketika kita menghadap pimpinan, coba-coba dah sambil smsan, kalo ga ditegur kita ini? Kalau sedang rapat sama pimpinan proyek, sama klien, kita bisa konsentrasi dengan hebat, dan mendengarkan dengan seksama. Ini, ketika makmum, nguap, nguap aja. Tanda kantuk yang tidak ditahan. Subhaanallaah!
***

Romantisme ber-Tauhid...

Supir Saya
Kita tidak mengenal Allah. Itu yang menyebabkan kita tidak menyambut kedatangan-Nya. tidak di shalat fardhu, dan lebih tidak lagi di shalat tahajjud. Beruntunglah orang-orang yang tahu bahwa Allah itu selalu datang. Datang dengan segala karunia-Nya, datang dengan segala pertolongan-Nya.
Untuk kemudahan berkendaraan, Allah karuniakan saya supir. Saya tidak menganggap supir saya ini lebih rendah dari saya. Malah saya seringkali membesarkan hatinya, bahwa kemana saya ceramah, maka dia dapet juga pahala kebaikannya. Asal dia mau membaca basmallah dan berdoa agar amalan ceramah saya, pun ia dapatkan.
Namun, ketika saya tidak mendapati supir saya tepat waktu, tidak kurang saya pun suka terbersit rasa kesal. "Bagaimana sih? Udah tahu mau jalan, koq malah ga ada?" begitu saya berpikir.
Di satu waktu, saya memberitahu supir saya, agar dia standby langsung di depan lobi satu tempat, sebab sudah akan jalan lagi ke tempat yang lain. Dan saya sudah wanti-wanti dengan sangat. Yang demikian itu, agar tidak jadi hambatan bagi perjalanan saya. Tapi rupanya dia tidak mengindahkan. Begitu saya keluar, dia tidak ada. Begitu saya telpon, katanya sedang ngantar saudara saya ke depan jalan utama, mencari taksi. Saya marah, namun, bersabar rasanya lebih baik. Karena saya tidak bisa menunggu lebih lama, saya bilang sama dia, saya naik taksi saja juga dah. Dan dia saya suruh pulang. Ada suara bersalah di ujung seberang HP sana. Namun saya tidak mau berlama-lama lagi. Saya tutup telponnya dan saya segera mencari taxi. Sebelum taxi yang saya pesan, sampe, supir saya sudah datang dan meminta maaf.
Sekarang saya sadar, bahwa selama ini saya sering mengecewakan Allah, Tuhan saya yang sudah demikian baik kepada saya, kepada keluarga saya, kepada semua manusia. Dan sekarang saya membiarkan Allah menunggu saya...
Saya tidak dapat membayangkan, andai yang mengucapkan kalimat: "Tunggu ya Pak!", adalah supir saya. Ya, ketika saya perlu dia, dia lalu mengatakan itu. Lebih konyol lagi kalo dia bilang, Pak, kalo ga sabar, silahkan saja naik taxi ya. Saya makan dulu... (???!!!). Wuih, saya tidak dapat membayangkan, apa yang saya akan lakukan terhadap supir saya itu.
Lebih lagi saya tidak mampu membayangkan jika saya lah yang menjadi supir buat majikan saya. Saya harus selalu standby buat majikan saya. Lalu kenapa kita tidak pernah siap siaga untuk Allah, Tuhan kita?
Disebut siap siaga bila kita selalu stel panca indera kita. Kita, menjadi weker, atau alarm, untuk diri kita sendiri. Selalu waspada setiap waktu shalat datang. Syukur-syukur bila kita mau menjaga wudhu kita. Jadi, ga perlu mengantri ketika saat shalat datang. Makin cepat kita datang kepada Allah, rasanya hidup kita akan didahulukan ketimbang orang-orang yang selalu telat datangnya. Makin kita bergegas menuju Allah, menyambut Allah, doa-doa kita pun akan semakin cepat dikabul, masalah-masalah kalau datang cepat selesainya, hajat kalau ada bisa Allah segerakan pencapaiannya. Tapi apa boleh buat. Selama ini kita menyadari bahwa sama yang namanya shalat, kita jarang mementingkannya.
Pesantren Online


Allah, Yang Maha Perkasa, selalu mendatangi kita. Disambut tidak disambut, dilayani tidak dilayani, dengan Kasih Sayang-Nya, DIA selalu hadir di kehidupan kita. Lantaran tidak mengenal-Nya, kita lalu menjadi manusia-manusia yang kehilangan momen berharga bertemu dengan Pemilik Dunia ini. Subhaanallaah.
Masih seputar supir saya, alangkah manisnya bila kemudian ketika saya keluar dari satu tempat, dia sudah standby dengan mobil yang AC nya sudah dingin menyebar ke seluruh kabin mobil. Lebih lega lagi saya kalau kemudian mobil itu bersih luar dalem dan wangi. Tambah bangga saya, kalau kemudian ia turun dari mobilnya, lalu dengan sopannya membukakan pintu mobil untuk saya.
Saya seperti raja, he he he. Tapi ya, sehari-hari saya tidak demikian. Ini kan cerita "alangkah manisnya". Bukan yang sebenarnya. Tapi logika ini mau dipakai untuk menunjukkan kesiapan kita dan kesopanan kita terhadap Allah. Ternyata, jauh sekali dari yang semestinya.
Mestinya, jangan Allah yang menunggu kita. Tapi kita yang menyambut kedatangan Allah. Kita sudah siap siaga sebelum datangnya waktu shalat. Kita sudah siap siaga sebelum muadzdzin mengumandangkan azannya.
Bagi yang mengingat masa-masa pergi haji atau umrahnya, koq bisa ya kalo di tanah suci kita melangkahkan kaki kita ke masjid, jauh sebelum azan? Bahkan ada yang tidak beranjak dari masjidil haram atau masjidin nabawi, memilih untuk menunggu datangnya waktu shalat yang lain.
Coba diprogram hidup kita, dengan menyetel ulang jadwal ibadah kita. Mari kita sambut Allah. Jangan biarkan lagi kita yang ditunggu Allah.
Syukur-syukur kita mau menyambut Allah dengan pakaian yang lebih bagus ketimbang kita menemui manusia. Kalaupun tidak, siapkan wewangian khusus untuk menyambut Allah yang kita pakai hanya ketika menghadap-Nya. Kita kemudian tegakkan shalat-shalat sunnah. Kita datang sebelum waktu azan... Duh, indahnya...
Saya kadang suka iseng membayangkan, Allah turun dengan Malaikat-Malaikat Pengiring-Nya. Allah memasuki masjid dengan Anggun-Nya, penuh Wibawa, penuh Pesona. Lalu saya menoleh ketika Allah datang, lantaran saya sudah di dalam masjid duluan. Lalu Allah tersenyum kepada saya dan saya katakan, saya sudah di sini ya Allah. Saya sudah di sini.
Begitulah. Asli. Candaan iseng, bayangan iseng ini, senang sekali saya bayangkan. Sehingga hati ini senang betul mengambil air wudhu untuk tajdiidul wudhu (memperbaharui wudhu). Saya ingin Pencipta saya senang bahwa saya betul-betul mengabdi pada-Nya. Saya belum mampu mengabdi banyak, ya dengan cara beginilah dulu. Tampil di muka ketika shalat. Subhaanallaah.
Begitu pun ketika masa shalat tahajjud. Ketika saya terbangun, saya bayangkan bahwa Allah yang membangunkan saya. DIA berada di samping saya, dan membangunkan saya dengan penuh Kelembutan dan Kasih Sayang-Nya. Masya Allah. Bertentangan tentu memvisualkan hal-hal seperti ini. Tapi inilah saya. Romantisme bertauhid dengan Allah menjadi sangat nyata buat saya.
Ketika saya pedengerkan keluhan saya, saya bercerita kepada yang melebihi sahabat dekat saya. Saya perdengarkan keluhan-keluhan saya tentang kejadian-kejadian hidup yang saya lewati, detail, pelan-pelan. Pakai bahasa sehari-hari dengan tetap memperhatikan kesantunan, adab, kesopanan layaknya saya bicara dengan Tuhan Pemilik Alam ini. Tapi ya itu, visualisasi bahwa saya sedang bercengkrama dengan-Nya, saya usahakan betul, agar Allah hadir di hati saya.
Dalam suasana sentimentil, misalnya sedang marah, sedang kecewa, sedang sangat senang, atau sedang sangat sedih, biasanya manusia sanggup bercengkerama dengan Allah. Rahasianya barangkali karena hatinya dihadirkan untuk berdioalog dengan Allah. Semoga kita bisa senantiasa menyambut Allah dan bermesra-mesraan dengan-Nya. Kendalikan perasaan dengan memprogramnya. Sehingga kapanpun, romantisme bertauhid bisa senantiasa kita rasakan. Kepada-Nya lah semua urusan dikembalikan. Kita berdoa terus agar Allah berkenan memperkenalkan diri-Nya kepada kita dan kita bisa mengenal-Nya. Amin.
***

Dapat apa dari Dunia?...

Kita sering habis-habisan berbuat untuk sesuatu yang justru akan kita tinggal. Sedang untuk sesuatu yang bakal abadi, sering kita tidak sungguh-sungguh.
Sore tadi saya berbincang-bincang sebelum ashar dengan X, wali murid dari santri kami yang bernama Ayu. Alhamdulillah, selama Ramadhan ini, Pesantren punya kegiatan buka puasa dan tarawih keliling ke wali-wali santri. Mereka senang-senang. Sudah mah bisa melihat anaknya pulang, mereka bisa kedatangan kawan-kawan dari anak-anaknya dan para dewan guru pesantren. Tambah senang lagi mereka bahwa saya menyatakan saya pun bisa mendampingi. Dan kegiatan tarawih 1 juz 1 malam tetap bisa berlangsung. Yakni di kediaman tuan rumah, atau di mushalla/masjid di sana, yang bisa mengikuti tarawih 1 juzan ini (tidak semua mushalla berkenan, mengingat stamina jamaahnya yang belum tentu sanggup mengikuti tarawih begini).
Nah, Pak X ini rupanya juga peserta KuliahOnline Wisatahati. Saya senang sekali. Ini kan sama juga dengan saya mengisi ruh, hati dan pikiran para wali santri. Saya baru sadar, oh iya ya, kenapa saya tidak wajibkan saja para wali santri mengikuti KuliahOnline ini. Insya Allah kalo visi misi nya sudah sama, hatinya juga sama-sama tesambung ke Allah, maka ini akan mempermudah perjalanan menuju perubahan yang dikehendaki. Perubahan bermodalkan ridha Allah.
Pak X ini bertanya kepada saya, kapan ustadz ada waktunya? Saya bilang, insya Allah saya sempatkan. Hari ini saya terlambat mengupload sebab alhamdulillah saya dikasih “ga enak badan”. Saya masih harus ikut memimpin tarawih 1 juzan, dan kemudian saya diamanahkan Allah beberapa kegiatan. Tumbang juga. Saya pikir, besok saja (tadi pagi maksudnya), habis shubuh, habis siaran langsung di TPI jam 05.00-05.30. eh, malah tumbang beneran. Istirahat, bangun-bangun jam 11! Alhamdulillahnya udah sempet dhuha waktu menginspeksi anak-anak santri di Pesantren. Masya Allah, maafkan saya ya.
Pak X ini juga bertanya tentang materi, beliau bilang, statement Ustadz menarik juga tuh. Saya tanya, statement yang mana? Kalimat yang mana? Itu, ketika Ustadz bilang, bahwa materi besok (hari ini), adalah bagaimana kita meninggalkan dunia, tapi tetap mendapatkannya?! Bagaimana tuh caranya?
Begini, sebentar lagi ashar kan? Kata saya. Nah, ketika azan ashar, atau malah di pesantren mah sebelum ashar, kita sudah harus meninggalkan dunia kita. Untuk menuju Allah. Itulah yang dimaksud belajar meninggalkan dunia sekaligus mendapatkannya. Tidak sungguh-sungguh meninggalkan dunia, hanya harus tahu kapan kita bekerja, kapan kita beribadah kepada Allah. Sampe sini, ada yang mengatakan, kan kerja juga ibadah? Iya, betul. Bagus malah. Tapi jangan sampe meninggalkan dan melalaikan ibadah mahdhoh (wajib) nya.
Saya menceritakan kepada beliau, bahwa saya punya kawan yang buka toko sepatu. Satu hari ia berkhidmat kepada agama. Dia memilih khuruj (keluar 3 hari sampe 40 hari) ala jamaah tabligh. Tokonya ia atur sebaik-baiknya sebelum ia meninggalkannya. Ia aturkan karyawan-karyawannya, ia amanahkan sebaik-baiknya tokonya ini kepada anak buah dan saudaranya. Dia mengaku, toko sepatunya malah mendapatkan hasil lebih.
Ada seseorang yang berkhidmat kepada seorang kyai. Ia bantu kyai ini, ia temani kyai ini keliling daerah. Sementara ia punya usaha pabrikan rumahan pembuat mesin pengering nangka dan pisang. Biasanya dia hanya mampu menjualkan 1-2 mesin saja per bulan. Ini dia mengaku dia bisa menghasilkan sampai 5 mesin, per bulan!
Seorang anak muda datang bersama istri dan keluarganya. Minta nasihat agar dikuatkan mentalnya untuk jadi ustadz di pedalaman. Tapi keluarganya bingung. Ia selama ini kerja di pabrik. Gajinya 800rb, masih ada bonus-bonus dan tunjangan ini itu. Tapi itu pun seringnya nombok, dan punya hutang. Panggilan hatinya kuat sekali untuk berdakwah. Karenanya ia pamit untuk kemudian menjadi dai pedalaman. Niatan ini lumayan disetujui, sekaligus jadi beban pemikiran istri dan orang tuanya. Bergaji saja engga bisa hidup pas-pasan (nombok), apalagi kalo sampe ga punya gaji sama sekali. Saya perkuat hatinya, bahwa kalau memang sudah bulat, syaratnya jangan mengeluh. Insya Allah, Allah akan mengaruniakan sesuatu yang lebih. Dan benar saja. Satu tahun kemudian ia bercerita, hidupnya lebih punya sekarang ini. Bulan pertama saja, gaji sebesar 50rb per bulan dari lembaga dakwah yang menaungi perjalanannya ini malahan utuh. Apa sebab? Allah menanggung hidupnya. Orang-orang kampung yang diajarnya digerakkan Allah untuk memberikan sebagian hasil panen penduduk kepada dia. Malah katanya lebih hingga bisa dijual untuk bisa membelikan sesuatu buat istri, anak dan orang tuanya. Masya Allah kan?
Seorang pemasar di bidang konstruksi, mencoba untuk hidup mementingkan Allah. Ia lalu menjadi memegang prinsip bahwa Allah itu segala-galanya. Rapat-rapat ia beritahu bahwa ia harus break 10 menit sebelum azan, dan klien-kliennya malah disuruh nunggu! Katanya, kalau berkenan menunggu, saya senang sekali. Tapi kalau ga berkenan menunggu, ya baiknya kita re-schedule jadwal yang nabrak waktu shalat, untuk dipilih yang tidak nabrak waktu shalat. Katanya, pernah kejadian, ada satu klien, yang direksinya itu “bule”. Si bule ini mempersilahkan dia mem-break, sebab ga mungkin di-re-schedule. Lalu apa yang terjadi? Meeting dicukupkan sampe waktu break saja. Batalkah? Tidak. Pemasar konstruksi ini bercerita, bahwa tuh bule merasa ga usah lagi harus diperpanjang masa diskusinya. Mengapa? Katanya, bule kini percaya sama dirinya. Dia sudah perhatian sama Tuhannya, pasti dia orang jujur, begitu kata bule ini meyakinkan. Dan bule ini masih menambahkan, bahwa dia disiplin dengan waktu audiensi bersama Tuhannya, pasti pekerjaan-pekerjaan yang dipercayakan kepadanya pun akan juga disiplin.
Seorang pengusaha makanan, mengubah kebiasaan (culture) perusahaannya. Biasanya ia ajarkan agar karyawannya sigap-sigap mencari dan melayani pelanggannya. Tapi apa yang terjadi? Setelah ia berkenalan dengan ilmu tauhid, ia berkeinginan mempraktekkan ketauhidannya ini di lingkup usahanya. Saya menyebutnya DAARUL QUR’AN METHOD. Dan inilah DAARUL QUR’AN METHOD. Apa yang diterapkan oleh si pengusaha yang diceritakan ini adalah metodenya Daarul Qur’an.
Eh, sudah azan maghrib. Saya buka puasa dulu ya. Ntar malem ba’da tarawih saya lanjutkan lagi.

Daarul Qur’an Method


Dunia harus dikejar. Karena di sini kita hidup. Namun akhirat juga harus diperhatikan. Sebab di sanalah tempat kita kembali. Inilah doa dan ajaran keseimbangan hidup yang diajarkan Rasulullah.
Peserta KuliahOnline yang saya sayangi. Tulisan berikut ini, tentang “dunia”, sesungguhnya sudah saya siapkan dari jauh-jauh hari sebelum Kuliah Tauhid ini dirilis. Bareng dengan saya mempersiapkan ragam tulisan materi kuliah yang lain. Jadi, alhamdulillah. Ga kesulitan. Saya tinggal memeriksa ulang saja, dan menemplatenya.
Di usia saya yang kata orang masih muda ini, saya sering berpikir. Dikasih apa kita ini sama dunia? Belum meninggal aja, kita ini ga dikasih apa-apa. Punya mobil lebih dari satu, yang dipake tetep satu. Bener sih istri make mobil, anak-anak make mobil. Tapi kita kehilangan mereka nantinya. Mereka pun sering kehilangan kita. Coba aja baca bait-bait tulisan di dalam buku ini. Ada tulisan saya yang berjudul: punya suami kayak ga punya suami. Punya istri kayak ga punya istri. Punya anak kayak ga punya anak. Punya orang tua, kayak ga punya orang tua. Punya tetangga, kayak ga punya tetangga. Punya saudara kayak ga punya saudara. Punya kawan, kayak ga punya kawan. Akhir-akhirnya, punya agama, kayak ga punya agama.
Ada bintang-bintang yang begitu populer, lalu tenggelam berakhir masa kepopulerannya. Dunia tetap berputar, tapi kehidupannya banyak yang mati lampu. Populer sudah tidak. Merasa populer, masih. Mati, ada yang meninggalkan hutang. Ada yang begini ada yang begitu.
Sementara, tidak sedikit orang-orang kaya yang tidak bisa menikmati kekayaannya. Kekayaan yang dinikmati adalah yang di atas kertas. Bukan kekayaan yang sesungguhnya. Makan, tidak bersama keluarga. Dia di mana, keluarga di mana. Tidur tidak bersama keluarga. Dia di mana, keluarga di mana. Sibuk dengan urusannya. Kaya iya, tapi kualitas hidupnya? Layak dipertanyakan kalau ia menyempatkan diri merenung. Begitu gagahnya, dunia malah menjadikannya duduk di kursi pesakitan, disorot layar kaca duduk di kursi tersangka. Tidak sedikit juga pengusaha yang susah payah membangun rumah super mewahnya, tapi ia betul-betul sudah tinggal di penjara. Sungguhpun penjara ia bisa sulap menjadi ruangan super mewah, ya tetap saja penjara namanya. Rumah yang luar biasa ia bangun pun kalo ditanya dibangun untuk siapa? Ia kelak tidak mengerti juga jawabannya. Kalo dijawab buat anak-anaknya, nyatanya anak-anaknya studi di luar kota dan di luar negeri. Kalo dijawab untuk orang tuanya, nyatanya orang tuanya di kampung sana. Orang tuanya juga merasa percuma kalo maen ke rumah tersebut, sebab memang tidak ada siapa-siapa.
Di banyak blok perumahan mewah, justru banyak yang tidak berpenghuni. Ada yang berpenghuni, namun bukan penghuni asli. Melainkan hanya penyewa, atau bahkan pembantu. Sudah mah nempatin gratis, dikasih duit pula tuh pembantu dan ditanggung semua hajat dan keperluannya. Termasuk urusan-urusan air, listrik, dan kebersihan serta keamanan.
Adduh, mata saya ini koq ya merasa “bukan itu yang harus kita cari”. Itulah barangkali yang disebut dengan kesenangan yang menipu. Apanya yang senang? Cuma perasaannya saja. Atau cuma katanya saja.
Ada kawan yang membangun hotel, dan ia sekalian tinggal di situ. Tahukah saudara, di kamar mana ia tinggal? Di kamar yang biasa saja. Bahkan cenderung di kamar yang paling jelek. Sebab kamar-kamarnya disewain semua. Lihat, dunia bahkan mengambil semuanya. Kalo kamar yang itupun ada yang sewa, ia memilih tinggal di rumah di belakang hotel yang ia sewa dari penduduk dengan bayar tahunan! Ini kan gendeng.
Tapi, kalo kekayaan itu ada di tangan orang soleh, subhaanallaah, manfaat. Rumah mewah banyak dibangun oleh dia supaya duitnya berputar. Ia sewakan untuk orang-orang asing. Setelah berputar, hasilnya ia bikin untuk lebih menggerakkan ekonomi syariah di kampungnya. Subhaanallaah. Mobil dia beliin yang banyak, buat kemudian diberdayakan uangnya. Dapet uang, kemudian belanjakan dah buat orang susah. Punya uang, beli-beliin dah perusahaan-perusahaan sakit. Kemudian sehatin. Habis itu jual. Hasil penjualannya untuk membantu pesantren-pesantren dah. Mantab.
Saya barangkali terlalu sentimentil ya? Tapi baiklah, saya turunin sedikit tempo nya. Coba aja lihat 2 tulisan berikut ini...

***
Karyawan

Masih seputar dapet apa dari dunia? Jika kita memburu hanya dunia, maka sungguh, kita tidak akan dapat apa2. Makanya Allah dan Rasul-Nya mengajarkan, jangan hanya mengejar dunia. Kejar juga akhirat, dengan memperhatikan amal saleh yang menjadi bekal menghadap Allah. Banyak-banyak berbuat kebaikan. Dan utamanya, perbaiki cara kita beribadah. Jangan sampai mencintai Allah hanya di mulut saja. Sesungguhnya kita tidak mencintai Allah melainkan mencintai dunia.
Ada seorang karyawan yang kalo saya tanya, dapat apa situ dari dunia? Gaji situ buat apa? Wong buat kebutuhan situ aja kurang? Lalu ia jawablah pake kata hatinya. Kata yang paling jujur yang pernah ia dengar. Dan itulah jawabannya sendiri. Bukan jawaban orang lain. Apa katanya? Iya juga. Saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya berjuang untuk rumah yang sesungguhnya saya tidak tahu apakah kalau saya meninggal nanti rumah ini udah lunas atau belum. KPR nya, 15 tahun. Sekarang baru jalan 8 tahun. Sedang kematian tidak ada yang tahu.
Mobil yang saya dapatkan pun, kredit. Motor juga begitu. Barang-barang di rumah ini, rata-rata kredit. Ada yang kredit memang barangnya, ada yang dari kartu kredit. Begitu katanya.
Dapat apa dia? Semula ia berpikir ia sudah mencapai banyak hal. Ternyata tidak. Coba aja kalau dia sakit agak panjang. Sebut saja, sakit 4-5 bulan. Lalu ia di-PHK. Maka kemudian seluruh rencana keuangan, berantakan. Rumah, tidak lagi terbayar, lalu disita. Mobil dan motor lalu ditarik leasing. Lalu dia? Dapat apa? Ga dapat apa-apa. Rupanya selama ini ia hidup untuk bank di mana ia kredit rumah. Ia hidup untuk bayar kartu kredit yang ga lunas-lunas. Ia hidup untuk bayar leasing yang membengkakkan harga motor dan mobilnya sekian kali lipat. Banyak kemudian karyawan-karyawan yang terjebak oleh hutang yang tidak terbayar dan akhirnya bener-bener ga punya apa-apa.
Di situ kemudian menjadi peluang dunia industri asuransi. Ada asuransi ini ada asuransi itu. Ok, fine, ikut aja, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, jangan lupakan asuransi akhirat dengan shalat dan sedekah. Dunia, bakal hilang. Tapi Allah dan seluruh amal kita, ga bakal hilang.
Tidak sedikit dari mereka yang kemudian setelah semua aset yang dibelinya dengan acar berhutang, lunas, harus dijual kembali dengan harga murah. Sebab ternyata satu dua hal yang tidak terprediksi sebelumnya. Misal, adiknya masuk penjara sebab satu hutang. Itu kan bukan sebab dia. Sebab adiknya. Tapi orang tuanya mohon-mohon agar ia jual rumahnya untuk membantu adiknya. Orang tuanya lalu bilang, tinggallah dulu di rumahnya beliau. Manalah kita tega. Kita juallah rumah kita, dan kemudian kita mengontrak, hanya agar jangan satu atap dengan orang tua. Lihat, gila kan? Cape-cape kita kemudian bayar angsuran rumah, akhirnya ngontrak-ngontrak juga.
Ya begitu dah dunia.
Ada yang bilang,
(+) Hei, kenapa engkau wahai ustadz menyalahkan dia? Bukankah dia membantu orang tua dan adiknya?
(-) Kelihatannya sih begitu.
(+) Koq kelihatannya?
(-) Ya, emang.
(+) Emang pegimana?
(-) Begini. Kalau ketika dia bekerja, dia ga lupa sama Allah, itu namanya ujian dari Allah. Dan insya Allah itu adalah kebaikan dari Allah. Tapi kalau selama dia kerja, dia tidak ingat sama Allah, maka sesungguhnya Allah mengazabnya. Allah tungguin apa yang dia kumpulin itu benar-benar lunas, lalu Allah ambil serta merta dengan cara-cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
(+) Wah, kalo gitu jahat ya Allah?
(-) Ya, tidak. Mana lah jahat? Daripada diazabnya nanti di akhirat? Kan repot.
(+) Ukurannya apaan?
(-) Shalat ga dia? Kalau dia jawab: shalat, maka shalatnya seperti apa? Kalo shalatnya sering di akhir waktu, ya sama saja dengan tidak menghargai Allah. Kita kan disuruh syukur. Masa kemudian sama Allah malah mengurangi waktu. Sedang sama dunia, ditambah terus jam untuk mencarinya. Lihat lagi, sedekahnya gimana? Sebelum kerja, sedekah seribu, istilahnya. Kemudian, setelah kerja, masih seribu. Ini kan tidak bersyukur disebutnya.
(+) Oh, kalau begitu, termasuk firman-Nya ya: Bersyukurlah kamu, maka akan Aku tambah nikmat-Ku padamu. Tapi kalau kalian tidak bersyukur, maka sesungguhnya azab Allah teramat pedih.
(-) Nah, itu tahu.
Ya begitu tuh dunia. Dunia dipegang, dia berontak. Didekap, malah menendang. Diburu, malah maju memukul. Dilayani, malah memerintah. Dikejar, malah memerangkap. Dia menyerahkan dirinya, tapi dunia itu menipu. Sesunguhnya dia tidak pernah menyerahkan dirinya. Dunia hanya mempermainkan manusia. Makanya Allah menasihati untuk jangan tertipu urusan dunia. Banyak-banyak beramal saleh, sebab itu yang lebih kekal.
Masih kelihatan sentimentil ya?
“Nanti malah menghalangi orang mencari dunia loh.” begitu kata sebahagiannya yang lain.
Ah, biar saja. Mudah-mudahan ada yang terbuka mata hatinya. Bila selama ini hidup untuk dunia. Kini, hidupnya di dunia, tapi untuk Allah, Yang Punya Dunia. Ia jadikan dunia sebagai sarana ibadah kepada Pemilik Dunia.
Esai besok kita mulai menukik bicara tentang shalat dan kualitas shalat kita. Berturut-turut kita juga akan bicara tentang doa, hingga kemudian ke definisi-definisi tauhid berdasarkan kitab-kitab; al Qur’an dan al Hadits. Insya Allah.

***
Memberi Perintah Kepada Allah

Tidak ada pekerjaan terpenting dalam kehidupan kita
kecuali menunggu datangnya shalat, dan menyegerakan shalat.
Dalam satu dialog ada yang bertanya kepada saya bahwa tanpa sadar kita sering memberi perintah kepada Allah. "Tahu ga Ustadz, perintah apa tuh kira-kira?".
Saya memilih diam. Menikmati nasihat yang sedang datang ke saya. Sejak awal bicara, saya memilih belajar saja.
"Perintah yang dimaksud, perintah tunggu..." katanya melanjutkan.
Pembicaraan saat itu sedang membicarakan shalat tepat waktu. Saya langsung merespon membenarkan. "Iya juga. Perintah tunggu ya?"
Coba aja lihat, kata orang ini. Ketika Allah memanggil, lewat muadzdzin, kita masih asyik dengan dunia kita. Tidak sadar bahwa Allah sudah memanggil kita untuk sujud dan ruku' menghadap-Nya. Sebagian lagi mendengar, tapi tidak bergerak. Sebagiannya malah tidak bisa lagi mendengar. Tertutup oleh kesibukannya bekerja, berusaha dan mencari dunia.
Bener. Rupanya kita ini memberi satu pengkodean terhadap Allah, di hampir di setiap 5 waktu shalat. Yaitu pengkodean perintah "TUNGGU". Luar biasa.
Jadilah Allah "Menunggu" kita. Sungguh tidak ada pantas-pantasnya. Masa Allah disuruh menunggu kita, iya ga?

***
Perintah "Tunggu"
Tidak ada yang lebih penting di dunia ini yang harus kita kerjakan kecuali shalat. Shalatlah pekerjaan utama kita, sedang yang lainnya adalah pekerjaan sambilan.
Apa yang terjadi dengan diri Anda ketika Anda mendengar Azan? Apakah langsung bergegas memenuhi panggilan azan tersebut, lalu melaksanakan shalat? Atau biasa-biasa saja? Kalau Anda tidak segera bergegas menyambut seruan itu, maka ketahuilah kita termasuk yang berkategori memberi perintah kepada Allah. Yaitu perintah "tunggu" tersebut.
Perintah "tunggu" kepada Allah ini berarti: # Tunggu ya, saya sedang melayani pelanggan. # Tunggu ya, saya sedang nyetir. # Tunggu ya, saya sedang menerima tamu. # Tunggu ya, saya sedang nemani klien. # Tunggu ya, saya sedang rapat. # Tunggu ya, saya sedang dagang nih. # Tunggu ya, saya sedang belanja. # Tunggu ya saya sedang belajar. # Tunggu ya saya sedang ngajar. # Tunggu ya saya sedang merokok. # Tunggu ya, saya sedang di tol. # Tunggu ya, saya sedang dalam terburu-buru. # Tunggu ya saya sedang tidur. # Tunggu ya, saya sedang bekerja. Dan seterusnya.
Coba aja berkaca kepada diri sendiri, dan kebiasaan ketika menghadapi waktu shalat. Perintah tunggu inilah yang kita berikan kepada Allah. Adzan berkumandang... Allahu akbar, Allahu akbar... Bukannya kita bergegas menyambut seruan itu, malah Allah kita suruh menungg
u...
***
Siapa sih kita?
Sesiapa yang tidak mengusahakan shalat di awal waktu, sungguh dia adalah orang yang tidak mengenal Allah. Rizki-Nya lah yang selalu kita cari. Pertolongan-Nya lah yang sedang kita butuhkan. Dan Allah datang di setiap waktu shalat membawa apa yang kita butuhkan, memberi apa yang kita inginkan, di luar kebaikan-Nya yang bersifat sunnatullah.
Kita ini, manusia, makhluk ciptaan Allah. Diciptakan dari saripati tanah. Kita ada, lantaran ada hubungan yang diizinkan Allah dari hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian terjadilah kita. Ya, dari sperma, kita menjadi manusia. Makanya Allah menyindir di surah Yaasiin ayat ke-77, bagaimana mungkin manusia yang diciptakan dari saripati tanah lalu tiba-tiba menjadi pembangkang? Menjadi pendurhaka kepada Allah?
Tapi ya begitulah. Kita ini emang manusia yang ga tahu diuntung dan ga tahu diri. Kita ga kenal siapa kita. Lihat saja, berani-beraninya kita "memerintah" Allah untuk menunggu kita. Iya kan?
Sedangkan, saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, seorang kopral, ga boleh dia memerintah sersan. Sersan, ga boleh memerintah kapten. Mayor, tidak bisa memerintah Jenderal, dan seterusnya. Hirarki itu, terjadi. Bahkan, seorang polisi yang berdiri di pinggir jalan, lalu lewat mobil jenderal, lalu dia tidak mengangkat tangan tanda hormat, maka secara kesatuan, ini akan jadi masalah buat dia.
Nah, sekarang, tanya, siapa kita, dan siapa juga Allah? Terlalu amat sangat jauuuuuuhhhhh hirarki kedudukannya. Lah, bagaimana mungkin kemudian kita membiarkan Allah menunggu kita, atau kita memberikan perintah tunggu kepada-Nya, untuk menunggu kita? Astaghfirullah.
Insya Allah orang bisa rada selamet soal shalat, ketika bisa berpikir begini, "Jangan sampe Allah menunggu saya. Kalo bisa, saya yang menyambut Allah. Sebab ga ada pantes-pantesnya. Masa Raja Diraja, Pemberi Karunia, yang dirindukan pertolongan-Nya dan bantuan-Nya, yang dinikmati rizki-Nya, lalu jadi yang menunggu saya? Emangnya, siapa saya?".


***
Renungkan tiga esai ini dulu ya sebagai bahan kuliah hari ini. Kepada Allah kita berharap sejak ini TAUHID kita BUNYI. Maksudnya, ilmu tauhid kita itu nyata, berpengaruh ke kehidupan kita. Yakni manakala kita berusaha mengenal Allah di saat Allah datang saja dulu di waktu shalat.

Likulli syai-in baabun. Wa baabut taqorrub ilallaahi, ash-sholaah; segala sesuatu ada pintunya. Dan pintu supaya bisa mendekatkan diri kepada Allah itu adalah shalat.
***
Hidup Bersama Allah

Luangkan waktu bersama Allah. Semakin banyak waktu yang diluangkan bersama Allah, semakin bagus kualitas hidup kita. Apalagi bila kita mau menambah kualitas kedekatan itu dengan ilmu dan amal salih.
Alhamdulillah, Allah hadirkan bulan puasa dari 12 bulan yang Allah berikan. Di bulan puasa ini, boleh dibilang manusia terkoneksi terus sama Allah. Ketika dia puasa saja, paling tidak seseorang “nyambung” mulai dari sahur, sampe mau tidur. Gerakan batinnya, gerakan niatnya, gerakan fisiknya, terjaga dengan apa yang disebut puasa. Ketika kita tidur pun, pikiran kita setidak-tidaknya berpikir untuk jangan sampai tidak bangun sahur. Itu sebabnya kita kemudian bisa bangun sahur. Sebab kondisi kita “siap bangun”. Di bulan puasa, kita ingat mengaji. Di bulan puasa, shalat sunnah sayang terlewati. Di bulan puasa, baca al Qur’an disempet-sempetin. Di bulan puasa, para lelaki ngebela-belain shalat berjamaah. Para ibu,para istri, menyiapkan makana berbuka dan sahur. Sedekah juga bertebaran di bulan ini. Subhaanallaah, sungguh bulannya amal salih. (Perkara seseorang kemudian mengisi puasanya atau tidak, itu perkara lain. Dengan berpuasa saja, lalu tetap mengambil amalan-amalan yang wajibnya saja, sebenernya itu sudah cukup mengantarkan seseorang menjadi terhubung sama Allah. Tentu saja, semakin banyak kita dalam beramal, akan semakin baik score-nya. Semakin bagus kita mengisi, semakin baik nilainya).
Andai seperti ini hidup kita di bulan-bulan berikutnya, masya Allah, alangkah bagusnya. Hidup bersama Allah. Rizki insya Allah kebuka.
Saya semalam menangis. Di 2 lokasi Pesantren Daarul Qur’an; di Kampung Bulak Santri dan di Kampung Ketapang (dua-duanya berjarak dekat, tidak berjauhan), berlangsung tarawih 1 juz 1 malam. Sebab saya menangis, ada beberapa hal. Di antaranya barangkali saya terlalu bahagia. Ga kebayang dalam hidup saya, bahwa saya dan kawan-kawan diamanahi berkah yang luar biasa; memimpin dan mengelola pesantren hafalan al Qur’an. Dan memasuki puasa, setiap malam berlangsung tarawih 1 juzan yang memang sudah lama saya idam-idamkan. Suara imam-imam saban malamnya, suara anak-anak santri, segala rupa amalan warga pesantren, masya Allah, sungguh ini membahagiakan sekali. Ditambah lagi saya yang alhamdulillah bulan ini banyak mengurangi jadual untuk berkonsentrasi di tengah-tengah para santri dan asaatidz. Wuah, ada kedamaian sendiri. Ada di tengah anak-anak dan para asaatidz pondok yang hatinya, pikirannya, gerakannya, adalah menuju Allah.
Saya betul-betul mengundang kawan-kawan jamaah semua untuk mengagendakan acara-acara keluarga, acara-acara kantor, dan pengajiannya untuk diselenggarakan di pesantren. Saya tidak menjanjikan apa-apa, kecuali mudah-mudahan berkah dari amalan harian pesantren bisa dibawa ketika berada di sana dan kemudian bisa dibawa pulang itu keberkahan. Suasana pesantren sering mendatangkan kedamaian. Di pesantren manapun ia, termasuk di Pesantren Daarul Qur’an.
Rasanya, kita emang perlu waktu khusus dan tempat-tempat khusus, plus lingkungan yang khusus, yang memang bisa membawa kita untuk bisa terpengaruh untuk bisa hidup bersama Allah.
Waba;du, Para Peserta KuliahOnline yang berbahagia, saya menemukan banyak manusia yang menyibukkan dirinya dengan urusannya. Bahkan ketika bermasalah pun tidak kunjung mendekatkan dirinya dengan Allah.
Kalau bisa, dalam keadaan bagaimanapun kita, mestinya kita sadar untuk memulai perjalanan mencari Allah. Bukan sekedar ditempuh. Tapi dikebut.
Kita kejar dosa kita, kita kejar kehidupan yang nyaman di kehidupan kedua nanti setelah kita meninggal. Apalah lagi buat kita-kita yang sadar bahwa kita-kita ini emang manusia-manusia yang masya Allah, dosanya gede banget-banget.
Kebiasaan-kebiasaan di bulan puasa, terus saja kita jalankan, baik di bulan puasa ini, maupun nanti setelah bulan puasa meninggalkan kita. Mulai dari bangun shalat shubuh lebih di awal. Supaya bisa shalat malam, witir, istighfar dan membaca al Qur’an menunggu waktu shubuh. Supaya bisa tertegak shalat sunnah tahajjud, witir dan baca al Qur’an.
Jalankan ini semua sampe ia menjadi kebiasaan buat kita. Menjadi habit buat kita.
Ini pula lah yang mau dikejar dalam Riyadhah 40 hari menjadi kaya. Bahwa selama 40 hari kita bungkus diri kita dengan apa yang dinamakan “taqorrub ilallaah”, mendekatkan diri kepada Allah.
Jalankan segala ibadah sampe kita sendiri larut dalam keasyikan menjalankan ini. Sesiapa yang menjalankan dengan hati, insya Allah -- sering saya bilang – Allah akan berikan kenikmatan “lupa bahwa diri kita sedang bermasalah”. Ingat-ingat, mudah-mudahan Allah sudah men-take over masalah kita. Lupakan keinginan kita, kita berjalan saja menuju Allah. Sadar-sadar, perjalanan ikhtiar kita mencapai keinginan, tau-tau dah nyampe.
Bagi jamaah peserta kuliah, kita belajar meyakini, kalaulah sampe kita-kita ini bermasalah hidup di dunia ini, lalu masalah kita itu bisa mengantarkan kita menjadi mengingat Allah, ga apa-apa juga. Terlalu mahal tebusannya bila tiada dapat mengingat Allah, meskipun bergelimang harta dan bagus jabatan.
Boleh jadi di antara saudara yang melakukan ibadah-ibadah mengaku belum ada tanda-tanda masalahnya bisa selesai. Namun sesuatu yang pasti, ketenangan yang luar biasa, Allah akan berikan kepadanya. Ketika seseorang berhutang misalnya, bisa saja terjadi satu demi satu mereka yang ia punya hutang kepadanya, membaik dan menjadi kawan. Menagih tetap menagih. Insya Allah selalu ada saja kemudahan yang membuatnya masih terasa punya banyak waktu. Kita-kita ini harus yakin, pertolongan Allah bakal datang juga kepada kita.
Dan inilah yang semestinya kita kejar. Allah. Bukan solusi buat permasalahan kita dan bukan jawaban dari keinginan kita. Tujuan kita, kita kembalikan lagi. Yaitu Allah. Hanya DIA. Bukan yang lain.
Bila kita bisa MENGUBAH HALUAN HIDUP, maka lompatan besar sesungguhnya sudah terjadi. Yakni, Pemilik Segala Solusi, yaitu Allah, sudah ia dapatkan. Dan ini lebih mahal dari apapun di dunia ini.
Ya, ini juga perlu saya garis bawahi, bahwa ubahlah haluan hidup kita. Kalau kita mengejar solusi dan mengejar keinginan, kita akan letih dibuatnya. Kita kejarlah Allah. Insya Allah, Dia akan menyediakan jawaban-jawaban-Nya untuk kita.
Maka pesan saya buat diri saya dan buat semua Peserta KuliahOnline, luangkanlah waktu untuk bersama Allah. Sesering mungkin. Semakin kita meluangkan waktu untuk Allah, maka hal aneh yang akan terjadi, selain kita sendiri semakin punya banyak waktu untuk menikmati hidup ini, pun hidup kita akan sepi dengan sendirinya dari masalah-masalah yang memenjarakan kita punya hidup.
Kalau kita pikir-pikir ya, kurang apa kita coba? Kerja keras udah, kerja cerdas udah, tapi kenapa hidup kita jauh dari berkualitas? Jawabannya ternyata, tujuan hidup kita bukanlah Allah. Saya orang yang tidak percaya bahwa seseorang yang menapaki kesuksesan , lalu layak disebut sukses, apabila kehidupannya rapuh. Saya orang yang tidak mau memakai ukuran dunia. Dunia seringkali merenggut hidup kita. Jabatan direksi memang kita sandang, tapi tarohannya mahal sekali; keluarga, kesehatan kita, kesenangan kita, dan yang paling mahal dirampas adalah waktu untuk kebersamaan kita dengan Allah.
Kalau kita semua tidak segera mengubah haluan hidup kita, pastilah kita akan semakin jauh dari Allah subhaanahuu wata’aala.
Berikut ini tips untuk saya dan untuk kita semua:

  1. Biasakanlah untuk memulai pagi dengan shalat dhuha dan membaca al Qur’an. Sibuk, ya sibuk. Tapi kita harus bisa mengendalikan diri. Kesibukan ga ada habisnya. Sedari malam pun kita jejak, lalu kita masih korbankan pagi kita, dunia tidak akan pernah cukup buat kita. Kita boleh bilang bahwa keluarlah dari rumah sepagi mungkin. Namun saya akan menambahkan, tapi sempatkanlah diri kita untuk bisa shalat dhuha dan baca al Qur’an, barang seayat dua ayat.
  2. Waktunya shalat nanti, shalatlah. Tinggalkanlah semua urusan jual beli, urusan perniagaan, urusan pekerjaan, urusan dunia. Tinggalkan itu semua untuk segera shalat menghadap Allah. Dunia diurus ga ada habisnya. Shalat 5 waktu, harus lebih penting buat kita daripada yang lain. Inilah tauhid. Jangan bangga menjadi yang terdepan, tapi di urusan shalat menjadi yang paling belakang. Kalo bisa, kalau sedang dianugerahi usaha, pekerjaan, anak buah, perusahaan, atau karunia-karunia lain, jadilah motor penggerak bagi sekeliling untuk sama-sama shalat menghadap Allah. Yakinkah semuanya bahwa Allah itu lebih penting dari semua urusan dunia. Shalatlah tepat waktu. Bila shalat tidak tepat waktu, terlalu jauh kita memutar kemudi untuk kembali di tracknya. Contoh, kita sering ketinggalan shalat ashar di jam 5 sore. Berarti kan 2 jam telatnya? Katakanlah 5 shalat waktu dikali telat 2 jam, maka dalam sehari, kita telat 10 jam. Ibarat orang yang adu lari, maka kita akan kalah 10 jam. Dalam satu bulan, 300 jam. 300 jam itu lebih kurangnya 12-13 hari. Bisa dibayangkan betapa kalahnya kita mengejar dunia bila kita sering telat shalat dalam 12 bulan. Itu berarti ketinggalan kurang lebih 150 harian ngitung gampangnya. 150 harian itu sama dengan ketinggalan 4 bulanan. Lebih bahaya kalau kita sering telat shalat sejak akil baligh. Katakanlah umur kita saat ini 30 tahun, dan akil baligh dihitung dari umur 10 tahun, berarti kita akan kalah 40 bulan. 40 bulan itu 4 tahunan. Wajar saja kita mundur di dunia ini, sebab langkah kita, telat 4 tahunan. Belom lagi kalo dihitung meninggalkan shalat, meninggalkan puasa, meninggalkan berhaji hanya gara-gara tidak siap, atau ditambah lagi dengan dosa-dosa dan maksiat, wuah, barangkali konversiannya bisa 10-20 tahunan. Bayangkan, harusnya, kita susah tuh selama itu. Tapi karena Rahman Rahim Allah lah, kita masih bisa tertawa, masih bisa tersenyum, masih bisa makan minum enak. Subhaanallaah, Maha Pengasih benar Allah, dan Maha Pemaaf.
  3. Bikin doyan diri dengan shalat sunnah qabliyah ba’diyah. Jangan mudah meninggalkan qabliyah ba’diyah. Kebanyakan atau keseringan meninggalkan qabliyah ba’diyah, akan menyebabkan kita menjadi orang-orang yang jauh rizki dan tidak bertambah rizki. Rizki kita mau bertambah, tapi shalat tiada mau bertambah.
  4. Menjelang tidur, berwudhulah, perbanyak zikir dan istighfar kepada Allah. Ingat-ingat dosa. Ibarat jalan, kita balik lagi kembali ke Allah dan mengembalikan semua urusan kepada Allah. Doa menjelang tidur kan begitu. Di antaranya Innii ufawwidhu amrii ilallaah; aku menyerahkan sepenuh-penuhnya segala urusan kepada Allah.
  5. Jangan lupa. Niatkan bangun malam, sebagaimana kita mengincar waktu sahur takut-takut kita kepayahan di siang harinya ketika kita berpuasa. Kita bangun malahlah, dengan satu kecemasan di hati dan pikiran kita bahwa kalau kita tidak bangun malam, maka hidup kita akan payah di siang harinya ketika kita bekerja dan berusaha. Dan di saat bangun malam inilah sesungguhnya titik 0 hidup kita dimulai. Bila langkah dalam hidup ini dimulai dari shalat shubuh jam 05.30, maka itu berarti kemunduran buat kita. Melenceng malah. Bedanya berapa jam tuh? Lihat penjelasan perihal hitung-hitungan kalau shalat kita telat, udah 4 tahunan. Kalau perjalanan kita dihitung dari jam 3 dinihari waktu tahajjud bagaimana? Maka ia menyumbang perjalanan kemunduran kita lebih kurang sebanyak 2 jam setengah dikali 30 hari dalam sebulan, dikali 12 bulan dalam setahun, dan dikali berapa umur akil baligh kita. Masya Allah, panjang bener garis hidup kita melencengnya! Ini belom dihitung bulak beloknya kita ketika kita hidup. Adakalanya kita menuruti hawa nafsu, adakalanya kita mengikuti syetan. Tambah panjang tuh.
    Saya sering mengilustrasikan begini. Ada seorang manajer yang hidupnya udah lempeng. Tapi kemudian dia tergoda memperkaya diri. Akhirnya, jabatan manajer yang 10 tahunan ia kejar, harus hilang. Kalau kemudian ia harus meniti karir lagi untuk sampai ke jenjangnya, berapa lama lagi? Ukuran normalnya ya 10 tahunan lagi. Dan biasanya perjalanan kedua akan lebih berat lagi, utamanya kalau tetap Allah tidak ridha.
  6. Kejar ketertinggalan dengan amal saleh. Cari jalan-jalan yang bisa kita kemudian tercatat sebagai orang-orang yang beramal saleh, berbuat kebaikan. Jadilah bahagian dari orang-orang yang ikut ngumpul bersama orang-orang yang senangnya beramal saleh. Kalau perlu, jadilah kepala lokomotif yang membawa gerbong kebaikan. Agar kekejar itu ketertinggalan selama hidup kita haluannya ga bener.

Ok, sampe ketemu lagi di esai berikutnya. Insya Allah kita akan belajar sedikit “meninggalkan dunia”, tapi tetap mendapatkannya. Bingung kan? Ya, besok saja jawabannya. Insya Allah.