Bagi saya, persoalan shalat adalah persoalan tauhid. Sebab tauhid kan sederhananya: Mengenal Allah. Lalu bagaimana kualitas shalat kita, sebagaimana itulah kita bertauhid kepadanya. Memang ada urusan lain di urusan shalat, tapi semua bermula dari sini... Dari shalat... |
Shalat Cermin Tauhid Persoalan Shalat, Persoalan Tauhid |
Ada hadiah dari Allah buat siapa saja yang mementingkan diri-Nya Si A, membawa surat interview. Dia ini orang yang terbiasa tepat waktu. Ia gelisah. Sebab di surat interview itu, ia dipanggil jam 11.00. Jam yang rawan bagi dia. Rawan apaan? Rawan untuk tidak bisa mempersiapkan diri shalat tepat waktu. Subhaanallaah! Padahal jam 11 kan masih jauh? Masih 1 jam menuju waktu shalat. Iya. Itu kalo dia prediksi wawancara bisa berlangsung tepat waktu. Bagaimana kalau pewawancara telat. Atau ia datang di urutan wawancara nomor ke sekian? Atau wawancara akan masih berlangsung sedang waktu shalat sudah menjelang. Lihat ya, baru "sudah menjelang", bukan sudah datang. Pikiran ini betul-betul mengganggu si A ini. Tapi karena dia butuh pekerjaan, kemudian dia tetap memutuskan untuk datang. Jam 11 kurang dia sudah sampai. Dia catatkan namanya untuk interview. Ternyata hanya dia seorang. Aman nih. Tapi apa yang terjadi? Ternyata si penginterview dipanggil oleh direksi. Sampe jam 11.30-an ga kunjung ada kejelasan apakah wawancara bisa dilaksanakan atau tidak, atau di jam berapa wawancara bisa dilaksanakan. Di mata si A ini, pertanyaan itu jelas ia jawab, atau bahasa lainnya, jawabannya jelas: Batal. Betul: Batal. Dia memilih tidak wawancara bila wawancara itu dilakukan di jam 12 lalu mengganggu jadual shalatnya. Masya Allah. "Mbak, saya izin dulu ya. Nanti saya balik lagi. Saya titip tas di sini," katanya kepada resepsionis. "Bawa aja tas nya. Emangnya mau kemana? Bapak sebentar lagi barangkali datang." "Mau shalat dulu." "Oh… Silahkan… Nanti saya beritahu Bapak." Alhamdulillah, pikir si A. Kirain akan dimarahin. Ini malah dipersilahkan dan akan dibantu untuk memberitahukan ke pewawancara. Alhamdulillah. |
*** |
Sesampenya si A di ruang mushalla, belum ada orang. Sebab baru jam 12.50. saat itu, zuhur jam 12.08. Kira-kira jam 12-an lewat, tapi belum datang saatnya azan, datang seorang bapak. Bersih wajahnya. Berseri. Bapak ini sudah datang dalam keadaan berwudhu. Ditemani oleh dua orang lagi di sebelahnya. Juga dalam keadaan sudah berwudhu nampaknya. Sebab si A tidak melihat ada tanda-tanda bekas air wudhu baru. "Mas, bukan pegawai sini ya?" tanya salah satu dari yang tiga orang tersebut. "Iya Pak" "Eh, kemana yang azan? Koq belum azan nih?" cetus lagi yang satu, sambil melihat jam. "Saya saja Pak yang azan," kata si A. Dalam keadaan rapih baju dan celananya, dan dalam keadaan wangi, si A, azan. Ada rasa kebanggaan di hatinya, bahwa dia bisa mengalahkan interview untuk dapat azan dan shalat zuhur berjamaah. Berdirilah yang tiga orang tersebut, sambil menunggu azan selesai. Seolah-olah mereka mendampingi si A ber-azan. Selepas azan, si A tidak sempat lagi bicara-bicara dengan tiga orang tersebut. Sebab mushalla sudah keburu ramai. Hanya, selepas shalat ba’diyah, pundaknya ditepuk oleh salah satu dari yang tiga. "Mas yang akan diwawancara oleh saya ya?" Kagetlah si A. Rupanya ia bersama-sama sang pewawancara. Satu shaf. "Yang ngimamin shalat itu, Dirut kita," katanya datar. "Kita tunggu beliau selesai shalat sunnah." Singkat cerita, malah si A itu diajak makan siang bersama. Dua dari yang tiga, adalah direksi. Sedang yang mewawancara pun nampaknya memiliki jabatan yang cukup tinggi di kantor tersebut. Sungguh beruntung si A. Ia jaga shalatnya, malah Allah dudukkan dia dalam posisi yang sangat mulia. Bagaimana lalu dengan awawancaranya? Ya sudah tidak perlu diwawancara kali. Pertemuan di mushalla, dan azannya si A, sudah menyelesaikan wawancara. Alhamdulillah, subhaanallaah. Para Peserta Kuliah Online yang budiman, kalau kita hidup dalam aturan Allah, maka Allah akan mengaturkan hal-hal yang terbaik buat kita. Allah Maha Mengendalikan dunia ini, dan DIA Maha Mengetahui apa yang akan terjadi. Pintu rizki pun di tangan-Nya. Bukan di tangan siapa-siapa. |
*** |
Memberi Jam yang Terbaik |
Allah begitu baik sama kita. Sedangkan kita? Judul di atas bukan bermaksud memberi hadiah jam tangan. Bukan. Maksudnya, memberikan waktu terbaik kita buat Allah. Tidak mudah loh menerapkan hal ini. Makanya, mintalah bantuan, bimbingan, dan pertolongan Allah, agar bisa memberikan kepada Allah, waktu terbaik untuk-Nya. Jadilah orang yang berbahagia, di mana ketika orang sedang sibuk-sibuknya, kita bisa memotong menghadiahkan waktu yang berharga yang kita miliki, buat Allah. Bukankah sejatinya semua punya Allah? Berikut ini kira-kira waktu terbaik kita:
Jam macet. Jam pulang. Banyak manusia yang terjebak di kemacetan, karena berburu pulang cepat. Akhirnya tetap saja kemaleman karena memang macet. Kalau memang macet-macet juga, kenapa tidak kita tunggu saja sampe maghrib usai. Atau syukur-syukur kita sekalian selesaikan isya, baru kita pulang. Kalau tetap khawatir, misalkan pulang jam 5, maka jam 18 mampir ke masjid. Jalan lagi usai maghrib. Lalu, mampir lagi jelang isya. Dan jalan lagi setelah shalat isya. Repot memang. Tapi insya Allah yang begini ini yang kelak akan Allah istimewakan. Manusia mau lelah, mau cape. Tapi kali ini cape dan lelahnya, buat Allah. Bukan seperti selama ini yang untuk dunianya, untuk perutnya, untuk keseombongannya, untuk hawa nafsunya. Subhaanallaah. |
*** |
Habis, Kita Digaji Beliau Sih... |
Kita tidak pernah tahu dengan sungguh-sungguh darimana rizki kita berasal. Barangkali, karena itulah kita jarang mengistimewakan Allah. "Pak Helmy, ke ruang saya ya…", perintah bos besar, datar. Tanpa ada nada suruh cepat-cepat, dan tidak ada juga perintah untuk bersegera. Perintahnya bener-bener datar. Bos besar ngangkat telpon, dan menekan shortcut number yang tersambung ke ruangan Pak Helmy, dan lalu bicara begitu: "Pak Helmy, ke ruang saya ya…". Itupun dilakukan si bos besar ini tanpa menunggu jawaban dari Pak Helmy, apakah bisa atau tidak. Dan bos besar pun tidak tahu juga barangkali siapa yang ngangkat telpon di ruangan Pak Helmy tersebut. Apakah benar Pak Helmy, atau bukan? Dalam kehidupan sehari-hari, kalau kita jadi Pak Helmy, maka kita wajibkan diri kita untuk menyegerakan diri ke ruangan bos besar. Kita lalu merapihkan diri, dan bahkan seperti sudah menebak apa kemauan bos besar, kita ke ruangannya membawa data-data yang barangkali diperlukan, supaya bos besar senang. Kalau kita jadi Pak Helmy, umpama ternyata sekretaris ruangan Pak Helmy yang mengangkat telpon itu, lalu kemudian si sekretaris ruangan itu lupa menyampaikan bahwa bos besar memanggil, maka marahlah Pak Helmy, dan bersegeralah dia meminta maaf kepada bos besar seraya menyampaikan bahwa dia salah. Kalau kita ditegor orang, "Duuuh, segitunya kalo dipanggil bos…". Maka kita akan menjawab, "Ya wajarlah. Sebab dia kan bos nya saya. Dia yang menggaji saya. Saya bekerja di perusahaan ini sebab kebaikan dia". Luar biasa. Begitu hebatnya "tauhid" kita kepada bos besar tersebut. Lalu, bagaimana dengan panggilan Allah? Bagaimana keadaan hati kita? Bagaimana keadaan diri kita? Bagaimana penampilan kita? Bagaimana sikap kita? Silahkan jawab sendiri. Masing-masing. Dengan jawaban yang paling jujur dari sikap dan perilaku kita selama ini. Semoga Allah menyayangi kita semua. |
*** |
Ani SBY |
Adalah wajar menghormati dan menghargai seorang manusia, karena kedudukannya, karena kemuliaannya, karena kekayaannya. Tapi menjadi tidak wajar, bila kemudian Pemilik Kesejatian Kedudukan, Kemuliaan, Kekayaan, tidak kita hormati tidak kita hargai. Ini bukan tulisan esai yang pro partai demokrat. Ini juga bukan cerita tentang seseorang yang membela SBY. Ini hanya cerita seorang anak bangsa yang bangga sama ibu negaranya, istri presidennya yang berkuasa saat ini (SBY adalah presiden Indonesia saat tulisan ini dibuat, Web Admin). Itu saja. Ok, saya memprologkan hal ini, sebab saya memang senang dengan Bu Ani SBY. Istri dari SBY. Senang. Sederhana. Kelihatan tidak neko-neko. Tidak kedengeran bisnis yang macam-macam. Nampaknya sosok ibu dan istri yang baik. Dan ini bukan tulisan yang menyatakan ketidaksenangan dengan beliau. Justru lantaran senangnya. Tulisan ini menjadi ada, karena Allah menjadikan ini sebagai pelajaran buat saya. Pada satu saat, ada pameran buku-buku di Dunia Islam yang pembukaannya saya diundang utuk hadir. Dan katanya, dihadiri oleh Bu Ani SBY sebagai istri Presiden yang bakal membuka pameran secara resmi. "Pengawalannya ketat Pak!" kata salah satu panitia. Yang lainnya menimpali, "Iya, seluruh penyewa ruangan pameran, ga boleh lagi masukin barang sejak jam 11 malam tadi". "Betul-betul diawasi", kata yang satunya lagi. Saya mendengar dialog ini. Saya yang udah mau nerobos masuk, jadi ga enak. Bukan sombong, insya Allah wajah saya diberi keleluasan untuk masuk, he he he. Ada pengecualian. Coba saja saya dilarang masuk, ya saya pulang. Kalo saya pulang, maka jadual baca doa, jadi berantakan, he he he. Tapi saya tahan langkah saya ini. Biarlah sistem yang bekerja. Toh kalau panitia butuh, dia akan nyari saya. Namun, pelajaran tauhid, bergetar di hati saya. Saya bergumam di dalam hati, subhaanallaah. Untuk kedatangan pembesar negeri ini, dan ini baru istrinya, manusia sudah dibuat repot, he he he. Kenapa ya kalo yang datang Allah, kita tidak repot? Nah! Coba aja lihat, barang-barang boleh masuk ke ruang pameran, jam 11 semalam sebelumnya. Dan di pagi hari, engga boleh lagi ada yang keluar masuk 2 jam sebelumnya. Sebab apa? Ya sebab tadi. Bu Presiden bakalan masuk ruangan. Clear Area. Bagaimana dengan Allah? Bagaimana dengan kedatangan-Nya di waktu shalat? Allah, hanya minta waktu sama kita untuk tepat waktu. Kita tidak disuruh bersiap-siap yang berlebihan hingga kemudian kita malah melupakan dunia kita. Kita hanya disuruh pada saatnya menghadap, tinggalkanlah perniagaan, tinggalkanlah jual beli. Itu kalau mau beruntung. Tapi lihat? Manusia lebih menghargai manusia yang lebih terhormat. Tidak mau melihat Yang Maha Terhormat. Manusia lebih bisa menghargai manusia lain yang lebih kaya. Tidak menghargai Yang Maha Kaya, Yang Teramat Kaya. Manusia, lebih menghargai terhadap mereka yang punya kekuasaan dan pengaruh lebih. Tapi terhadap Allah, Yang Maha Kuasa dan Teramat Kuasa, ya begitu dah bentuk penghargaan dan penghormatan kita. Kita tau sendiri bagaimana bentuknya. Maka diri ini berpesan kepada diri ini sendiri, seyogyanya berkenalanlah dengan Allah. Lewat hati. Supaya bisa mementingkan Allah, menghargai Allah, menghormati Allah, lebih dari siapapun di dunia ini. |
*** |
Gelisah |
Bilakah kegelisahan menghilang dari kalbu kita manakalah kita mengabaikan waktu shalat? Bila datang sebentar lagi waktu shalat, dan kita tahu siapa yang bakal turun ke langit dunia (yaitu Allah), sedang kita masih di jalan tol misalnya… bersyukurlah bila kemudian dikarunia hati yang gelisah. Gelisah apa? Gelisah tidak bisa shalat tepat waktu. Di mana kita ketika waktu shalat tiba? Pertanyaan ini kita tanyakan kepada diri kita. Kalo kita menjawab, alhamdulillah kami sudah di dalam masjid # alhamdulillah kami sudah dalam keadaan berwudhu dan di atas sajadah # alhamdulillah kami sudah berjalan menuju masjid # maka bersyukurlah. Jangan sampe kemudian kita merasa "aman-aman" saja. Bahkan tidak gelisah sama sekali ketika jam shalat sudah mau habis. Ya, banyak manusia yang gelisah dengan pendapatannya hari itu. Banyak manusia yang gelisah dengan proyek-proyeknya hari itu. Banyak manusia yang resah dengan masalahnya yang belum juga selesai hingga di hari itu. Banyak orang tua yang gelisah dengan keadaan anaknya yang sudah makan atau belum kalau anaknya pulang terlambat, dan gelisah kalau tidak ada tanda-tanda anaknya bakal datang. Tapi siapa yang mampu gelisah sebab khawatir shalat tidak tepat waktu? Sebuah keutamaan adanya bila kemudian kita datang ke tempat shalat, menyiapkan diri untuk shalat, tapi waktunya azan belum lagi datang. Artinya, kitalah yang datang duluan. Adem rasanya. Kalau kita tiada gelisah dengan kondisi buruknya shalat kita, maka Allah akan berikan kegelisahan itu di hati kita, sampai kita tidak tahu jawabannya apaan. Kan banyak tuh orang-orang yang gelisah tapi ga tahu kenapa dia bisa gelisah? Maka coba aja jajal koreksi dari sisi ini. |
*** |
No comments:
Post a Comment